• Beranda
  • Berita
  • Penerapan permanen sidang perkara pidana secara daring

Penerapan permanen sidang perkara pidana secara daring

29 Oktober 2020 19:57 WIB
Penerapan permanen sidang perkara pidana secara daring
Wartawan mengamati sidang pembacaan tuntutan terdakwa Bupati Bengkalis nonaktif Amril Mukminin yang disiarkan secara daring di gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/10/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nz
Soal pemanfaatan teknologi untuk persidangan, Mahkamah Agung sudah mempunyai terobosan sejak dua tahun lalu untuk perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer dan tata usaha negara.

Untuk pencari keadilan dengan perkara jenis itu, gedung pengadilan bukan satu-satunya yang harus dituju, melainkan dapat juga mengakses aplikasi peradilan elektronik atau e-Court. Bahkan yang terbaru, Mahkamah Agung telah menambahkan fitur untuk upaya banding.

Mengikuti terobosan untuk bidang administratif itu, Mahkamah Agung setahun kemudian meluncurkan e-Litigasi yang pertama diberlakukan untuk lingkungan peradilan umum, agama dan tata usaha negara.

Tidak disangka kemudian pandemi terjadi, sehingga pemanfaatan teknologi semakin mendesak untuk dimanfaatkan dalam sidang, khususnya perkara pidana yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda menunggu pandemi usai.

Untuk pelaksanaan persidangan melalui telekonferensi guna melindungi tersangka/terdakwa dari ancaman penyebaran COVID-19, Mahkamah Agung melakukan perjanjian kerja sama dengan Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan HAM pada April 2020.

Setelah adanya perjanjian itu, pengadilan, kejaksaan dan rumah tahanan dengan cepat beradaptasi dengan menggelar sidang daring untuk terdakwa yang masa penahannya tidak dapat diperpanjang lagi.

Namun, disadari sidang secara elektronik untuk perkara pidana menemui kendala yuridis lantaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur hal tersebut.

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Suhadi menuturkan KUHAP mengatur terdakwa, saksi serta ahli yang dinyatakan dalam sidang untuk hadir secara langsung, yakni dalam Pasal 154, 159 dan 196. Kehadiran yang dimaksud adalah secara fisik.

Selain itu, di dalam KUHAP juga diatur sidang dilangsungkan di gedung pengadilan dan pengaturan pakaian bagi hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera.

Tidak hanya KUHAP, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur persidangan dihadiri tiga orang hakim dibantu panitera serta mewajibkan penuntut umum dan terdakwa untuk hadir.

Meski begitu, Suhadi menuturkan Pasal 50 KUHAP memiliki ketentuan penyidikan harus segera dilimpahkan ke penuntut umum, penuntutan harus segera dilimpahkan ke pengadilan dan pemeriksaan persidangan harus segera diselesaikan pengadilan.

Untuk itu, ia menegaskan harus dilakukan terobosan yang pada dasarnya tidak mengubah ketentuan di dalam KUHAP, yakni berupa pemeriksaan persidangan tanpa menempatkan hakim dan panitera, penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum, saksi mau pun ahli dalam satu ruang sidang.

Namun, semua pihak itu terhubung, antara lain melalui telekonferensi atau melalui sarana komunikasi IT. "Jadi hakim dan panitera di gedung pengadilan dalam ruang sidang, itu prinsipnya," tutur hakim agung itu.

Kemudian penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum, saksi dan ahli hadir secara virtual di persidangan dalam jaringan dan tempat yang yang berbeda dalam waktu bersamaan.

Baca juga: MA rencanakan sidang perkara pidana daring diterapkan permanen

Landasan hukum dan pedoman
Sidang perkara pidana tidak dapat hanya berlandaskan perjanjian kerja sama antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM.

Untuk itu, Mahkamah menindaklanjuti perjanjian itu dengan membentuk kelompok kerja untuk menyusun peraturan Mahkamah Agung (Perma) untuk sidang perkara pidana secara elektronik.

Setelah beberapa bulan pokja menyusun perma, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin akhirnya menetapkan Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik pada 25 September 2020 dan secara resmi diundangkan pada 29 September 2020.

"Bulan lalu Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 4 Tahun 2020 yang memberikan payung hukum bagi pelaksanaan persidangan secara elektronik bagi perkara pidana, pidana militer dan jinayat," tutur Ketua Mahkamah Agung saat meresmikan enam gedung pengadilan terpadu di Manado secara virtual pekan lalu.

Perma itu mengatur ruang sidang secara elektronik adalah ruang sidang di pengadilan yang meliputi kantor kejaksaan, rutan/lapas atau tempat lain yang ditetapkan oleh majelis hakim dengan ketentuan semua peserta sidang harus terlihat di layar monitor dengan terang dan suara yang jelas.

Untuk mengikuti persidangan daring, penyidik, penuntut, pengadilan, terdakwa, penasihat hukum, saksi, ahli Rutan dan Lapas harus memiliki akun yang terverifikasi. Sementara dokumen administrasi pun disampaikan secara elektronik dengan disimpan dan dikelola sistem informasi pengadilan.

Meski hakim tidak secara langsung bertatap muka dengan terdakwa, saksi mau pun ahli, keterangan yang diberikan pihak-pihak itu dalam persidangan elektronik ditegaskan mempunyai nilai pembuktian yang sama.

Ada pun keadaan yang memungkinkan dilakukannya persidangan daring antara lain terjadi bencana alam, wabah penyakit, keadaan yang ditetapkan pemerintah sebagai keadaan darurat atau keadaan lain yang menurut majelis hakim dengan penetapan perlu persidangan secara elektronik.

Sementara untuk teknis sidang, perma mengatur pemanggilan persidangan sepekan sebelum sidang disampaikan ke domisili elektronik melalui pos elektronik, aplikasi perpesanan atau pesan singkat. Domisili elektronik adalah domisili para pihak berupa alamat surat elektronik dan/ atau nomor telpon seluler yang telah terverifikasi

Kemudian ruang terdakwa dalam mengikuti persidangan hanya boleh dihadiri terdakwa, penasihat hukum, petugas rutan/lapas dan petugas IT. Sementara saksi dan ahli dapat diperiksa di kantor penuntut, pengadilan atau kedutaan/konsulat apabila berada di luar negeri.

Khusus untuk saksi yang identitasnya menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan, keterangan dapat disampaikan dalam format audio yang disamarkan suaranya atau pemberian keterangan tanpa dihadiri terdakwa.

Selanjutnya untuk pemeriksaan barang bukti pun dilakukan secara daring karena tetap berada di kantor penuntut umum, kecuali dokumen cetak yang dapat dipindai. Sedangkan untuk barang bukti selain dokumen cetak, majelis hakim menerima foto atau video dari barang bukti.

Untuk tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik dibacakan di muka sidang sesuai ketentuan hukum acara. Begitu juga dengan putusan yang dibacakan secara elektronik.

Baca juga: Kejagung: Cegah berkumpul massa sidang "online" jadi solusi

Kualitas putusan
Pelaksanaan persidangan daring tentu tidak lepas dari catatan, baik positif mau pun negatif. Untuk kelebihan, Rektor Universitas Diponegoro Yos Johan Utama dalam sebuah webinar menilai persidangan secara daring memudahkan pengendalian jalannya sidang, membuat saksi lebih santai dalam menyampaikan keterangan dan membuat seluruh persidangan terekam.

Sementara untuk kekurangan, ia menitikberatkan pada kualitas putusan majelis hakim dari pemeriksaan yang dilakukan secara virtual. Ia mengatakan pelaksanaan sidang secara daring semestinya tidak hanya mengejar peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan seperti yang disebutkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, melainkan lebih kepada hasil putusan yang berkualitas.

Dalam memutus perkara yang disidangkan secara daring, majelis hakim diharapkan semakin adil dan menunjukkan kualitas hukum yang baik.

"Pertanyaan saya apakah e-Court akan menghasilkan putusan pengadilan yang lebih berkualitas karena medianya sudah berbeda," ujar Yos Johan Utama.

Kekhawatirannya itu didasari di antaranya majelis hakim tidak dapat secara leluasa memperhatikan gerak dan bahasa tubuh terdakwa serta saksi saat memberikan keterangan lantaran tidak berada di ruang sidang langsung.

Selain itu, terdakwa yang berada di rutan/lapas, saat dilakukan persidangan elektronik mungkin tidak didampingi penasihat hukum atau pendampingan dapat dilakukan dari jarak jauh, yakni penasihat hukum bersidang di kantor penuntut atau pengadilan.

Namun, terlepas dari kelebihan dan kekurangan secara teknis itu, semua dikembalikan lagi kepada majelis hakim sebagai pihak yang diyakinkan di dalam persidangan.

Selain itu, guru besar hukum tata negara itu berpesan, ada baiknya perubahan itu tidak dipandang sebagai sebuah perubahan paradigma, melainkan hanya sebuah proses administrasi persidangan agar tidak ada ekspektasi yang terlalu tinggi.

Baca juga: Ombudsman RI sarankan MA bentuk Tim IT awasi sidang daring

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020