• Beranda
  • Berita
  • Karena pandemi, banyak warga Jepang meninggalkan ibu kota Tokyo

Karena pandemi, banyak warga Jepang meninggalkan ibu kota Tokyo

4 November 2020 12:06 WIB
Karena pandemi, banyak warga Jepang meninggalkan ibu kota Tokyo
Warga memakai masker pelindung menunggu pergantian lampu lalu lintas di penyebrangan Shibuya, di tengah penyebaran penyakit virus corona (COVID-19), di Tokyo, Jepang, Jumat (16/10/2020. ANTARA/REUTERS/Issei Kato/WSJ/cfo.

Masyarakat di daerah bebas stres, dan Anda bisa menjalani kehidupan yang kaya akan makanan lezat dan aktivitas seperti memancing dan bertani,

Ketika wabah virus corona menyebabkan beras dan mi instan menghilang dari rak-rak supermarket di Tokyo tahun ini, Kaoru Okada, 36, memutuskan untuk meninggalkan ibu kota karena khawatir dengan ketahanan pangan.

Okada menetap di kota Saku, Jepang tengah, prefektur Nagano, sekitar 160 kilometer  barat laut Tokyo, mempertahankan bisnis ritel dan ekspor daringnya sambil menanam sayuran di pertanian dan menumbuk padi.

"Saya pindah dari Tokyo pada Juni setelah larangan perjalanan domestik dicabut. Saya berpikir sekarang adalah kesempatan sekali seumur hidup," kata Okada kepada Reuters.

"Tinggal dekat dengan pusat penghasil makanan dan koneksi dengan petani memberi saya rasa aman."

Baca juga: Kasus COVID-19 Tokyo naik, Jepang tidak kembalikan status darurat
Baca juga: Tokyo akan tingkatkan peringatan waspada corona ke level tertinggi


Karena pandemi telah mendorong banyak perusahaan untuk mengizinkan bekerja dari rumah. Hal itu juga menyebabkan populasi mengalir keluar dari Tokyo - pertama kali terjadi dalam beberapa tahun, data pemerintah terbaru menunjukkan.

Pergeseran ini dapat mendorong Perdana Menteri Yoshihide Suga, yang menjadikan revitalisasi wilayah pedesaan Jepang yang sebagai penyangga utama dari program sosioekonominya.

Pada September, 30.644 orang keluar  dari Tokyo, naik 12,5 persen tahun-ke-tahun, sementara jumlah yang masuk  turun 11,7 persen menjadi 27.006, data menunjukkan.

Itu adalah bulan ketiga berturut-turut jumlah mereka yang keluar melebihi jumlah yang masuk, rekor terpanjang, dipimpin oleh orang-orang berusia 20-an dan 30-an.

Mizuto Yamamoto, 31, sekarang bekerja dari rumah untuk menghindari kereta pagi Tokyo yang padat.

Seorang karyawan di perusahaan kepegawaian Caster Co, dia pindah sekitar 150 km  barat Tokyo ke Hokuto di pegunungan prefektur Yamanashi tahun lalu bersama istri dan putranya yang berusia 2 tahun.

"Senang rasanya pindah ke daerah tenang seperti Hokuto yang dikelilingi oleh sungai, Pegunungan Alpen Selatan dan Gunung Fuji," kata Yamamoto kepada Reuters. "Tidak ada kerumunan orang, yang mengurangi risiko virus."

Tidak bergantung ke TOKYO

Perdana Menteri Suga, dari pedesaan prefektur Akita di utara, menjadikan revitalisasi pedesaan Jepang sebagai salah satu tujuan utamanya.

Meskipun kekurangan pekerjaan dan infrastruktur untuk mendukung mereka, pemerintah daerah dan perusahaan telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menarik lebih banyak orang ke daerah pedesaan.

Hidetoshi Yuzawa, seorang pejabat di Iida, Prefektur Nagano, mengatakan Nagano adalah salah satu tempat paling populer untuk bermigrasi karena banyaknya dukungan, termasuk mentor, yang ditawarkannya kepada pendatang baru.

Dengan bantuan dari Iida, Mio Nanjo, seorang koki kue berusia 41 tahun, sedang merenovasi sebuah rumah tradisional menjadi sebuah kafe, yang rencananya akan ia buka di kota Matsukawa pada musim semi mendatang.

Sebagai seorang ibu tunggal dari tiga anak, Nanjo pindah dari daerah barat daya Tokyo musim panas ini setelah pandemi menutup toko tempat dia bekerja dan putranya kehilangan pekerjaan di pembuat truk.

"Perpindahan itu memungkinkan saya memulai dari awal lagi," kata Nanjo kepada Reuters. "Tidak ada gunanya bergantung pada Tokyo, di mana ada banyak orang melakukan bunuh diri."

Perusahaan besar pindah

Sebuah perusahaan kepegawaian besar, Pasona Group Inc, mengatakan pada bulan September akan memindahkan kantor pusat dan 1.200 karyawannya ke pulau Awaji di lepas pantai Kobe, Jepang barat.

Penguncian musim semi ini adalah faktor penentu, kata Nambu, seraya menambahkan bahwa tren akan terus berlanjut karena perusahaan dan karyawan mengubah pola pikir mereka tentang keseimbangan kehidupan kerja.

"Masyarakat di daerah bebas stres, dan Anda bisa menjalani kehidupan yang kaya akan makanan lezat dan aktivitas seperti memancing dan bertani," kata Nambu kepada Reuters.

Perusahaan lain, seperti Caster, telah mendasarkan model bisnis mereka pada kerja dari rumah, membuatnya mudah untuk mempekerjakan pekerja dengan menawarkan pekerjaan di mana pun mereka berada, kata Shota Nakagawa, 34, CEO perusahaan di kota Saito, Jepang selatan.

"Pekerja dapat menghindari perjalanan pulang pergi dengan kereta pada jam sibuk dan perusahaan dapat menghemat biaya transportasi dan mengurangi ruang kantor, yang semuanya akan meningkatkan keuntungan," kata Nakagawa.

Tapi di Saku, Okada, pemilik bisnis online, tidak berniat tinggal di sana selamanya - meski bukan berarti dia akan pindah kembali ke Tokyo.

“Selama saya bisa bekerja di mana saja, saya akan terus bergerak untuk mencari tempat yang paling cocok dengan hidup saya saat itu,” ujarnya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Kasus COVID-19 naik, Jepang desak lebih banyak bekerja secara daring
Baca juga: Pandemi COVID-19, Tokyo Marathon 2021 digelar setelah Olimpiade

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020