"Dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, kesalahan ketik seperti dicontohkan dimaksud, masih dapat diperbaiki meskipun RUU telah disahkan," ujar Willy, dalam pernyataannya, di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, masalah kesalahan redaksional dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mestinya tidak perlu terlalu diributkan karena masih bisa diperbaiki.
Politikus Partai Nasdem itu mencontohkan pernah ada kesalahan redaksional, namun hal tersebut masih bisa diperbaiki, misalnya pada UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung.
"Kedua UU tersebut diperbaiki pada Distribusi II naskah resmi yang disebarluaskan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan terkait," katanya.
Willy menjelaskan, berdasarkan Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019, diatur bahwa penyebarluasan dilakukan sejak Prolegnas hingga pengundangan Undang-Undang.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 88 ayat (2) UU PPP diatur juga bahwa penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi dan atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Sementara, berdasarkan Pasal 96 ayat (1) UU PPP, diatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PPP, diatur bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
"Berdasarkan praktik dan ketentuan dalam pasal-pasal UU PPP, serta memperhatikan masukan masyarakat atas kesalahan ketik pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka perbaikan atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, masih dapat dilakukan dan dibolehkan," katanya.
Willy menyebutkan naskah yang telah diperbaiki bisa diumumkan dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi.
"Artinya, Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki," pungkasnya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020