"Alasannya demi keamanan atau kemudahan mobilisasi anak berhadap dengan hukum selama proses persidangan," kata Slamet dalam sebuah seminar daring yang diikuti dari Jakarta, Rabu.
Meskipun secara umum anak berhadapan dengan hukum mengalami penurunan pada 2018 bila dibandingkan dengan 2014, kebanyakan anak berhadapan dengan hukum masih ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan dewasa.
Baca juga: Bappenas: Sistem Peradilan Pidana Anak berdampak baik
Slamet mengatakan pemahaman aparat penegak hukum tentang diversi juga masih beragam. Masih minim alternatif hukuman terhadap anak berhadapan dengan hukum, selain pemenjaraan.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
"Pada 2019, Bappenas didukung Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia dan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) melakukan studi implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak di empat wilayah, yaitu Tangerang, Surabaya, Palembang, dan Kendari," tuturnya.
Baca juga: KPPPA: Cegah anak jadi pelaku tindak pidana hindari berhadapan hukum
Studi dilaksanakan pada Maret hingga April 2019 untuk mengkaji praktik pembelajaran, implementasi, tantangan, dan rekomendasi untuk memperkuat Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
"Sistem Peradilan Pidana Anak berupaya mengedepankan pelibatan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain untuk mencari penyelesaian perkara secara adil hingga pemulihan dengan prinsip keadilan restoratif," katanya.
Dengan pendekatan keadilan restoratif, perlu ada penguatan regulasi dan aturan pelaksana, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, penguatan sarana dan prasarana serta kesadaran hukum masyarakat agar para pemangku kepentingan dapat bersinergi dan berkolaborasi.
Baca juga: Menteri Yohana: jumlah anak berhadapan dengan hukum meningkat
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020