"Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri menjadi bagian penting dalam upaya melindungi dan memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan dan film yang bermutu," kata Bintang melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.
Bintang mendorong semua pihak, baik kementerian/lembaga, perguruan tinggi, sekolah, organisasi profesi, masyarakat, serta para pelaku perfilman nasional agar aktif berperan serta dalam upaya memenuhi hak anak untuk mendapatkan informasi yang layak anak, termasuk melalui film.
Menurut Bintang, tontonan untuk anak juga harus menjadi tuntunan. Film harus bisa menjadi, bukan sekadar hiburan bagi anak, melainkan juga menjadi sumber informasi, hingga fungsi budaya dan pendidikan.
Baca juga: LSF ingin budaya sensor mandiri mengakar di masyarakat
"Anak-anak dapat meniru berbagai tokoh yang ditontonnya yang berperan dalam pembentukan tren yang kemudian menjadi panutan bagi mereka. Sangat penting bagi produsen dan lembaga sensor film memahami hal ini sehingga film yang dibuat benar-benar dapat memberikan nilai-nilai positif atau ramah anak," tuturnya.
Baca juga: Budaya sensor mandiri di masyarakat sangat penting
LSF melaporkan pada 2019 film dengan kategori "semua umur", yang diartikan ramah ditonton anak-anak hanya 10 persen hingga 14 persen. Jumlah anak penonton film tidak sebanding dengan jumlah film anak yang tersedia sehingga mereka beralih menonton genre film yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Baca juga: Kemkominfo: OTT sepakat sensor mandiri konten negatif
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan Budaya Sensor Mandiri bertujuan agar masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia.
"Apalagi pada masa pandemi, masyarakat menonton apa yang disiarkan di rumah mereka, baik yang dikonsumsi secara bebas maupun berbayar," katanya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020