Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian (ITSL-Faperta) Dr Boedi Tjahjono menyarankan mitigasi bencana dimulai dari penyediaan peta kebencanaan skala operasional, terutama dalam menghadapi pergeseran musim dan ancaman bencana.Dengan memanfaatkan data yang ada, kita bisa mengetahui karakteristik bentang lahan tiap daerah, termasuk kerawanan bencana di masing-masing wilayah
"Perlu adanya evaluasi tata ruang terkait penanggulangan dan tindakan preventif dalam menghadapi bencana alam dan ini harus terus dilakukan," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Apalagi, dengan adanya pergeseran curah hujan di Tanah Air tidak hanya memberikan dampak pada lingkungan, namun juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial masyarakat.
Ia mengatakan penataan ruang tersebut juga harus berbasis pada mitigasi bencana, yakni Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 sehingga pihak terkait segera memperbanyak peta kebencanaan skala operasional.
Skala tersebut termasuk skala kabupaten yakni 1:50.000 atau lebih besar sesuai dengan skala Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang ada.
Hal itu, katanya, penting sebab peta pada skala operasional belum banyak tersedia di daerah sehingga perlu segera disiapkan di mana peta kebencanaan seharusnya bisa dibuat oleh pemerintah daerah meskipun diawali dengan metode yang sederhana.
Bahkan, kata dia, kemajuan dan kemudahan teknologi dapat dimanfaatkan. Semua orang bisa melakukan pencarian data spasial dari berbagai daerah dengan mudah.
Baca juga: Legislator: Mitigasi bencana ditingkatkan sesuai protokol kesehatan
Di samping itu, katanya, ketersediaan data spasial pada hakikatnya akan memudahkan perencana atau para pihak terkait dalam merencanakan program untuk tindakan preventif dan penanggulangan bencana.
Lebih rinci, ujar dia, data dan informasi spasial yang diperlukan, di antaranya peta tematik atau citra satelit skala semidetil hingga detil.
Hal itu, katanya, sebenarnya sudah banyak tersedia di web sehingga dapat dimanfaatkan secara gratis dan digunakan termasuk yang paling populer yakni google map atau earth.
"Dengan memanfaatkan data yang ada, kita bisa mengetahui karakteristik bentang lahan tiap daerah, termasuk kerawanan bencana di masing-masing wilayah," katanya.
Dengan data tersebut, katanya, peta bahaya dan risiko bencana bisa dibangun, hasilnya dapat digunakan untuk program mitigasi bencana yang memberikan informasi prediktif proses alam dan peluang-peluang yang akan menimbulkan bencana pada masa mendatang.
Ia mengatakan dalam penyusunan peta bahaya dan risiko, data yang diperlukan untuk analisis bervariasi, tergantung pada jenis bencana alam yang dianalisis.
Misalnya, katanya, data untuk bahaya longsor, antara lain membutuhkan data kemiringan lereng, batuan penyusun permukaan lahan, penggunaan lahan, dan curah hujan.
Begitu pula dengan peta rencana tata ruang, menurut dia, peta tersebut sudah sekaligus mencerminkan aspek mitigasi bencana jangka panjang, sebab alokasi ruang sudah disesuaikan dengan karakter bentang lahan dalam merespons proses alam.
Baca juga: Antisipasi La Nina, Kepala BNPB sebut perlu mitigasi nonstruktural
Baca juga: BMKG dorong peningkatan mitigasi bencana di Indonesia
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020