• Beranda
  • Berita
  • Tiga profesor IPB sampaikan pra-orasi ilmiah jelang pengukuhan

Tiga profesor IPB sampaikan pra-orasi ilmiah jelang pengukuhan

5 November 2020 23:30 WIB
Tiga profesor IPB sampaikan pra-orasi ilmiah jelang pengukuhan
Gedung Rektorat kampus IPB University di Dramaga Bogor. ANTARA/HO/IPB University.
Tiga profesor IPB University menyampaikan pra-orasi ilmiahnya secara virtual kepada pers, Kamis, menjelang penyelenggaraan orasi ilmiah pada prosesi pengukuhan guru besar tetap di kampus IPB University, Bogor.

Ketiga profesor tersebut adalah Prof Dr Ir Hefni Effendi, MPhil dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), menyampaikan pra-orasi ilmiah bertajuk, "Pengelolaan Degradasi dan Restorasi Kualitas Air untuk Pencapaian SDGs".

Prof Dr Ir Asep Sudarman, MRurSc menyampaikan pra-orasi ilmiah berjudul, "Strategi Nutrisi dan Ketahanan Pakan untuk Pengembangan Ternak Lokal Tropis”.

Prof Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom, dari Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), menyampaikan materi pra-orasi ilmiah bertajuk, "Spatio-Temporal Data Mining untuk Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia".

Baca juga: Kampus harus mampu bekali mahasiswa beradaptasi dengan perubahan

Baca juga: Akademisi kelautan ingatkan dampak La Nina bagi nelayan


Prof Hefni Effendi mengatakan sekitar 90 persen air bekas dari rumah tangga dan industri rumahan di negara-negara berkembang, dibuang begitu saja ke badan air atau ke sungai, sehingga dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan.

Sesuai dengan target sustainable development goals (SDGs) butir keenam tentang penjaminan air bersih dan sanitasi yang baik, pada 2030 diharapkan sudah tercapai peningkatan kualitas air.

Indikator peningkatan kualitas air itu adalah, mengurangi polusi, menghilangkan pembuangan air limbah, meminimalkan pelepasan material dan bahan kimia berbahaya, mengurangi setengah proporsi air limbah yang tidak diolah, peningkatan daur ulang air, serta penggunaan kembali air daur ulang.

Menurut dia, Indonesia turut serta dalam SDGs ini melalui penilaian status mutu air, pengendalian sumber pencemar, dan sejumlah upaya restorasi.

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2019, perhitungan Indeks Kualitas Air (IKA) Indonesia di 34 provinsi sebesar 52,62, yakni meningkat 1,61 poin dari 51,01 pada 2018.

Prof Dr Ir Asep Sudarman, MRurSc dari Fakultas Peternakan, mengatakan pengembangan peternakan di Indonesia sebaiknya diarahkan pada perbanyakan populasi ternak, karena peningkatan produktivitas per individu ternak akan sulit dicapai.

Menurut Asep Sudarman, pemberian pakan kepada ternak ruminansia secara tradisional yaitu hanya diberi jerami padi dan rumput sepuasnya, ternyata tidak menunjukkan adanya pertambahan bobot badan pada ternak tersebut.

Berdasarkan riset yang dilakukannya, kerbau yang dipelihara secara tradisional, diberi jerami padi dan rumput sepuasnya, setelah dua pekan pemeliharaan menunjukkan bahwa bobot badannya tidak mengalami kenaikan.

Sebaliknya, kerbau yang diberi tambahan konsentrat berupa 50 persen gaplek dan 50 persen daun indigofera sebanyak satu kilogram per ekor per hari, menghasilkan kenaikan bobot badan sebesar 732 gram per ekor per hari yang juga ditandai dengan terkoreksinya status nutrisi kerbau.

Riset yang dilakukannya, juga mengamati pemberian daun singkong hasil fermentasi kepada domba sebanyak 20 persen. "Hasilnya, produksi yang setara dengan domba yang diberi 20 persen konsentrat," katanya.

Prof Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom, menyatakan dirinya mengembangkan riset Sistem Informasi Patroli Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan/Karhutla (SIPPK) untuk wilayah Sumatera.

Pengembangan SIPPK ini, kata dia, dilakukan bekerjasama dengan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan (PPIKHL) Wilayah Sumatra serta Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Imas menjelaskan dari hasil riset tersebut, diketahui luas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia pada 2015 mencapai lebih dari 2,6 juta hektar, sedangkan pada 2019 mencapai lebih dari 1,6 juta hektar.

Untuk mengurangi dampak negatif Karhulta, kata dia, pemerintah dalam hal ini KLHK telah memprioritaskan kegiatan pencegahan melalui upaya deteksi dini terjadinya Karhutla.

"Salah satu indikator terjadinya Karhutla adalah titik panas yang direkam oleh satelit penginderaan jauh. KLHK telah menetapkan prosedur pengecekan titik panas di lapangan yang diatur dalam Permen LHK Nomor 8 Tahun 2018,” katanya.*

Baca juga: IPB University berdayakan ekonomi korban bencana Sukabumi

Baca juga: Pakar: Akses pangan harus terjamin ketersediaannya

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020