"True North" memulai petualangannya di Festival Film Annecy di Prancis, lalu Festival Film Nashville di Amerika Serikat di mana film ini mendapat predikat Best Animated Feature, Festival Film Warsaw di Polandia, Festival Film Animasi Internasional Bucheon di Korea Selatan hingga Festival Film Internasional Tokyo.
"True North" menceritakan Yohan bocah laki-laki berusia sembilan tahun, bersama adik dan ibunya yang mendadak digiring ke kamp penjara politik di Korea Utara. Kepolosan dan keluguan Yohan tergerus. Masa kecil yang seharusnya bahagia direnggut oleh brutalnya kehidupan di sana. Beranjak dewasa, Yohan mencari makna hidup di tengah hari demi hari yang penuh derita.
Baca juga: Animasi Bima S rilis besok
Riset untuk menggodok cerita "True North" menghabiskan waktu bertahun-tahun. Eiji awalnya pertama membaca buku yang ditulis mantan tahanan di kamp konsentrasi Korea Utara. Tapi buku saja tidak cukup. Dia mewawancarai orang-orang Korea Utara yang berhasil melarikan diri setelah mengalami masa-masa kelam itu.
"Mengingat saya tidak bisa ke Korea Utara membawa kamera, tentu dengan alasan yang sudah jelas, saya bergantung kepada testimoni dari penyintas, mantan tahanan, mantan penjaga penjara, pengungsi yang tinggal di Seoul atau Tokyo," tutur Eiji kepada ANTARA dalam wawancara via video, pekan ini.
Pelanggaran hak asasi manusia adalah isu yang ingin diangkat Eiji lewat "True North", agar orang-orang tahu dan menyadari apa yang terjadi di negara paling misterius di dunia.
Ada kedekatan personal antara dia dan kisah tersebut. Eiji adalah warga Jepang keturunan Korea yang sudah menetap di Negeri Sakura selama beberapa generasi, termasuk ibu dan kakek serta neneknya. "Walau saya keturunan Korea, tapi saya besar sebagai orang Jepang."
Di sisi lain, Eiji menuturkan proses pembuatan "True North" membuatnya mengingat kenangan masa lampau samar-samar yang selama ini tersimpan di pojok memorinya.
"Saya tidak tahu apakah ini kenangan atau bukan, tapi ini seperti hal yang mungkin kau alami waktu kecil, lalu ketika beranjak dewasa, kau tak yakin apakah itu kenangan atau mimpi," ujar Eiji.
Yang pasti, dia mengingat entah kakek atau neneknya pernah menasehatinya agar selalu jadi anak yang baik. Jika bersikap nakal, dia ditakut-takuti akan dikirim ke penjara politik Korea Utara. Kala itu, dia bahkan tidak tahu apa itu Korea Utara.
"Tapi yang saya ingat, katanya itu tempat yang sangat menyeramkan, bagai neraka di bumi."
Kenangan mengenai ucapan kakek atau neneknya kala ia belia perlahan terlupakan, dan kembali lagi setelah dia membaca buku-buku sumber inspirasi "True North".
Pertemuan dengan animator Indonesia
Baca juga: Hangzhou gelar festival kartun dan animasi internasional
Baca juga: "Mulan" kembali dibuat ulang oleh studio animasi China
Dia menyadari kisah ini mungkin bisa jadi film yang penuh adegan mengerikan untuk ditonton bila diwujudkan bukan dalam animasi. Mungkin hasilnya malah seperti film horor.
Melalui animasi, dia ingin memasukkan banyak unsur selain tragedi kemanusiaan, yakni persahabatan, cinta dan kebaikan manusia sehingga penonton bisa merasa dekat dengan kisah tersebut.
Pertemuannya dengan Andrey Pratama, animator muda asal Jakarta, takkan terjadi tanpa campur tangan Noviana Kusumawardhani.
Dialah penulis cerita pendek "Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati" yang mengilhami Andrey membuat film animasi pendek "Moriendo" untuk tugas akhir jurusan Animasi di Universitas Bina Nusantara beberapa tahun silam.
Eiji adalah salah satu murid bahasa Indonesia dari Noviana yang mengajar di Ubud, Bali. Ketika mengetahui muridnya adalah pembuat film yang ingin membuat animasi, Noviana ingin memperkenalkan Andrey kepadanya.
"Di saat aku memberikan animasi ini kepada beliau (Noviana), beliau mempertontonkan animasi ini kepada murid-murid bahasa Indonesia-nya di Bali, salah satunya Eiji-san," kata Andrey kepada ANTARA dalam wawancara via video.
Waktu itu, Eiji tidak berharap banyak mengingat Andrey baru saja lulus dari universitas dan belum punya banyak pengalaman. Dia sebetulnya berpikir untuk membuatnya bersama animasi dari Jepang atau Amerika Serikat, bukan Indonesia. Apalagi dia berasal dari tempat asal animasi-animasi ternama di dunia. Ternyata anggapannya salah besar.
"Saya terpukau. Sensitivitas, seni, dan semuanya betul-betul sangat berkualitas, jadi saya pergi ke Jakarta menemui Andrey dan menjelaskan apa yang ingin saya buat," kata Eiji.
Baca juga: Lima judul animasi yang bisa ditonton jelang akhir pekan
Andrey tidak serta-merta mengiyakan. Rasa terkejut campur ragu menyelubungi hatinya. Dia khawatir tidak punya kemampuan mumpuni untuk menyelesaikan film animasi layar lebar.
"Waktu itu kan baru lulus tahun 2012, kita mengobrol tahun 2013. Aku memang punya mimpi bahwa aku ingin membuat film layar lebar yang bisa masuk ke festival film internasional. Cuma memang belum ada jalannya," kata Andrey.
Dia memulai dengan membuat dulu trailer "True North", membuat karakter-karakter filmnya, kemudian mengikuti proses wawancara dengan orang-orang Korea Utara agar gambar-gambarnya bisa betul-betul dekat dengan kenyataannya. Lambat laun, dia merasa yakin bisa menggarap animasi ini.
"Tahun 2016 akhir, awal 2017, aku mikir, ini kurang lebih berapa persennya sudah dibikin orang Indonesia. Sayang banget kalau proyek sebesar ini dilempar ke negara lain. Kupikir kita, Indonesia, punya kapabilitas besar juga."
Akhirnya dia menyanggupi tawaran Eiji dan membentuk tim animator, sebagian besar adalah mahasiswa yang baru lulus. Kemampuan membuat animasi sekelas Disney atau Pixar bukan kriteria utama. Faktor terpenting adalah mencari orang-orang yang tertarik mewujudkan proyek ini.
Jauh sebelum pandemi COVID-19, kerja jarak jauh sudah dilakukan Andrey dan tim dalam mengerjakan proyek ini.
"Kita sudah coba new normal duluan," Andrey tertawa.
Mereka rutin berkomunikasi dengan Eiji, yang sering berpindah-pindah tempat mulai dari Bali hingga New York, secara daring. Tapi sang sutradara secara berkala datang ke Jakarta untuk bertatap muka dengan tim dan membahas hal-hal yang lebih baik disampaikan secara langsung.
Dalam tim yang isinya kurang lebih 25 orang, Andrey dan rekan-rekannya belajar dan mengembangkan kemampuan melalui proses pembuatan "True North". Keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas dikalahkan oleh tekad kuat dan keinginan untuk terus belajar.
Baca juga: Ikuti kesuksesan "Si Juki" dengan perkuat "intellectual property"
Baca juga: "Over the Moon", film animasi keluarga untuk akhir pekan
Mereka membuat total lebih dari 220 karakter yang muncul dalam film, juga membuat 50 versi wajah Yohan hingga menemukan versi yang cocok.
Andrey yang membuat wajah khas Barat untuk karakter di film pendek "Moriendo" harus belajar membuat karakter dengan wajah Korea.
"Aku waktu itu di Korea duduk di MRT cuma ngelihatin muka orang satu-satu, lalu aku gambar," Andrey bercerita secuplik proses di balik merancang karakter-karakter "True North".
Pembuatan animasi berlangsung sekitar tiga tahun.
"Kita memang budget-nya tight, kita orangnya juga terbatas, tapi yang penting kita konsisten saja melakukan ini. Dengan tujuan film ini selesai dan sampai kepada audiens. Untungnya selesai!" kata Andrey seraya tersenyum lebar.
Baru-baru ini film "True North" tayang di Festival Film Internasional Tokyo. Reaksinya sungguh menghangatkan hati Eiji.
"Saya mendapat standing ovation, banyak juga yang menangis dan menulis ulasan positif, reaksinya sungguh luar biasa," kata Eiji.
Tapi dia bukan cuma ingin mendapat timbal balik positif. Dia ingin film ini memberikan dampak yang lebih besar, menyebarkan kepada penonton apa yang sedang dialami di belahan dunia lain.
Tahun 2021, film ini rencananya bakal ditayangkan di bioskop Jepang. Bagaimana dengan Indonesia?
"It's all tergantung," ujar Eiji, berharap kelak ada distributor yang bisa menayangkan "True North" di Indonesia agar masyarakat bisa melihat hasil karya anak bangsa yang bekerja keras menyelesaikan film ini.
Baca juga: Tak hanya sekuel, "Petualangan Sherina" hadir dalam versi animasi
Baca juga: Rekomendasi tayangan animasi anak dan keluarga untuk libur panjang
Baca juga: "TRESE", serial animasi pertama dari BASE Entertainment
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020