Perfilman Indonesia membutuhkan lebih banyak literasi untuk bisa menumbuhkan permintaan baik di pasar dalam negeri maupun internasional, menurut Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ahmad Mahendra.
Ahmad Mahendra mengatakan Indonesia belum memiliki skema distribusi film yang mudah diakses oleh masyarakat. “Selama ini, film Indonesia, baik yang komersial maupun independen, terbantu berkat adanya festival film di berbagai tempat,” katanya dalam diskusi daring "Talk on Indonesia: Indonesian Films During the Pandemic” yang diadakan Kedutaan Besar RI London, Jumat (6/11) waktu setempat.
Oleh karena itu, Kemdikbud berencana mengembangkan jejaring ekshibisi dan apresiasi film di Indonesia berupa “Cultural Hub”, yaitu ruang aktivitas kebudayaan warga di lingkungan terkecil dan dimotori oleh komunitas setempat.
Baca juga: Lima film Indonesia rekomendasi Tissa Biani yang wajib ditonton
Ahmad memaparkan program yang diadakan Kemdikbud itu merespons kondisi perfilman dalam masa pandemi COVID-19, seperti kerja sama penayangan film dengan Perwakilan RI di luar negeri.
Selain melaluii program Indonesiana Films untuk peningkatan kapasitas sineas Indonesia dengan menghadirkan pengajar yang berpengalaman dari Hollywood.
Sementara itu Budi Irawanto dari Universitas Gadjah Mada mengamati bahwa di tengah pandemi, dorongan untuk merekam hal-hal di sekitar kita senantiasa menyala di kalangan pembuat film dokumenter, untuk membangun pengetahuan kolektif.
Di tengah pandemi ketika orang-orang merasa makin terisolasi, unggahan film dokumenter di berbagai kanal publik justru menjadi ruang untuk berefleksi tentang situasi yang penuh ketidakpastian ini.
Film dokumenter dapat membantu memperkenalkan Indonesia di luar negeri kadang luput ditangkap oleh media arus utama karena film dokumenter memberi suara bagi mereka yang tidak bersuara.
Baca juga: Hannah Al Rashid mudik ke London untuk film "Exiled: The Chosen Ones"
“KBRI London dapat mengambil peran aktif untuk memperkenalkan film dokumenter Indonesia di Inggris melalui pemutaran di ruang terbuka atau dalam bentuk festival mini,” ujarnya.
Ekky Imanjaya dari BInus menekankan perlu adanya pemetaan daftar film Indonesia yang tayang di layanan OTT (over-the-top), seperti Hulu, iFlix, dan Vidio.
Masyarakat dapat lebih mudah menonton film Indonesia di layanan resmi sambil membantu mengurangi maraknya pembajakan film.
Sudah ada beberapa film Indonesia yang melakukan premiere-nya di layanan OTT, seperti film "Guru-Guru Gokil" di Netflix. Di masa pandemi juga tumbuh fenomena drive-in, atau menonton layar tancap dari mobil seperti tahun 80-an.
KBRI London dapat membantu ‘mak comblangi’ film Indonesia dengan layanan OTT di Inggris dan Eropa, ujarnya.
Selain mempertemukan produser film Indonesia dengan perusahaan distribusi film mancanegara, hal itu juga agar warga asing lebih tertarik untuk menonton.
Acara “Talk on Indonesia: Indonesian Films During the Pandemic” bagian dari program diskusi virtual Talk on Indonesia yang diadakan KBRI London dalam rangka membangun strategi yang lengkap dan komprehensif untuk mendukung promosi kebudayaan Indonesia di luar negeri.
Diharapkan berbagai aspek kebudayaan Indonesia akan diulas di program ini, termasuk sastra Indonesia.
Baca juga: Babak baru perlawanan industri film Indonesia terhadap pembajakan
Baca juga: Reza Rahardian senang produksi film bisa kembali berlanjut
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2020