Pekerja sosial senior asal Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung yang mengabdi sebagai relawan di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran Jakarta Wina dan Milly mengatakan para penyintas COVID-19 dan tenaga medis adalah pahlawan sesungguhnya.Tanpa dukungan mereka, penanganan dampak COVID-19 tidak akan berjalan maksimal
"Termasuk orang-orang yang merangkul penyintas dengan tangan terbuka," kata Wina melalui keterangan tertulis Kementerian Sosial (Kemensos) yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Di tengah pandemi COVID-19, stigma sosial erat kaitannya dengan penyintas. Orang-orang yang bisa memberikan ruang lingkup sehingga mereka bisa berfungsi sosial secara normal layak disebut sebagai pahlawan.
Stigma sosial menjadi tantangan terbesar dalam memberikan Layanan Dukungan Psikososial (LDP) di masa pandemi COVID-19. Stigma sosial disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakpahaman seseorang terlepas dari level pendidikan maupun profesinya
Hingga saat ini, Wina dan Milly bersama 414 pekerja sosial lainnya terus memberikan dukungan psikososial bagi masyarakat terdampak COVID-19.
"Ada motivasi tersendiri saat mendaftarkan diri sebagai relawan di Wisma Atlet. Mulanya di luar ekspektasi namun ketika sudah bergabung, saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman luar biasa yang mungkin tidak bisa didapatkan oleh orang lain," ujar dia.
Baca juga: Presiden akan anugerahkan gelar pahlawan nasional pada enam tokoh
Dalam memberikan dukungan psikososial, pekerja sosial di RSDC Wisma Atlet juga menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Kemampuan pekerja sosial juga diasah saat berhubungan langsung dengan penyintas. Ketika melalui proses memecahkan suatu masalah, hal itu menjadi sebuah pola yang biasa dan rutin dijalankan.
"Rasa takut dan was-was dalam menjaga imunitas tubuh juga sering dirasakan, namun profesionalitas dalam bekerja membuat kami dapat menyelesaikan tugas dengan baik," katanya.
Pekerja sosial lainnya, Milly, memiliki pandangan berbeda terkait pahlawan di tengah pandemi COVID-19.
Ia mengemukakan kata "pahlawan" pantas disematkan bagi tenaga medis karena paling utama dalam menyelamatkan pasien-pasien COVID-19 dan berjuang langsung di titik episentrum penanganan.
Apalagi, secara statistik, banyak korban meninggal akibat COVID-19 berasal dari tenaga medis. Selain itu, tim pendukung tenaga medis, seperti tim logistik, relawan nonmedis, edukator masyarakat, Satgas Penanganan COVID-19 di tingkat nasional maupun daerah, juga patut disebut sebagai pahlawan.
"Tanpa dukungan mereka, penanganan dampak COVID-19 tidak akan berjalan maksimal," ujar dia.
Sesuai arahan Menteri Sosial RI Juliari P. Batubara, pekerja sosial diharapkan dapat bekerja sama dengan semua unsur dalam komunitas guna mengadvokasi pentingnya penanaman nilai sosial di masyarakat.
Kehadiran pekerja sosial seyogyanya membantu meringankan warga dari dampak pandemi COVID-19 dari sisi psikososial dengan mengembangkan pemberdayaan serta relasi berkelanjutan antara orang dengan lingkungan sosialnya.
Secara umum, di awal penugasan, Milly dan Wina hanya melakukan LDP terhadap tenaga medis dan nonmedis. Namun, seiring berjalannya waktu, LDP juga dirasa perlu diberikan kepada pasien kelompok rentan (anak-anak, remaja, dan lansia), keluarga pasien dan masyarakat di lingkungan tempat tinggal pasien.
Berkolaborasi dengan tim psikolog dan keperawatan, pekerja sosial RSDC Wisma Atlet melakukan berbagai kegiatan terprogram dan terstruktur guna meringankan beban psikososial akibat pandemi COVID-19 antara lain visitasi (sharing session), rekreasional (fun games) dan relaksasi (self-healing).
Ia menjelaskan kegiatan-kegiatan tersebut berfungsi sebagai ruang komunikasi untuk menyampaikan segala keluh-kesah sekaligus sarana hiburan.
Sebab, kata dia, tenaga medis dan nonmedis serta pasien mungkin merasa jenuh dan stres selama bekerja maupun menjalani karantina.
Baca juga: Kemensos dapat usulan 20 calon pahlawan nasional
Baca juga: Mendikbud apresiasi pahlawan kemanusiaan ringankan beban rakyat
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020