Mendorong warga Jakarta mencintai sayuran

8 November 2020 08:21 WIB
Mendorong warga Jakarta mencintai sayuran
Petani kota Abdulrahman (58) melakukan perawatan tanamannya di kebun di atas rumahnya, di kawasan Cipete, Jakarta, Kamis (14/11/2019). Konsep pertaniaan perkotaan atau "urban farming" menjadi solusi masyarakat Jakarta untuk bercocok tanam atau berkebun di tengah-tengah tingginya harga lahan di Ibu Kota. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama

sayuran masih dianggap sebagai makanan pendamping

Budidaya menanam sayuran memang sudah banyak ditekuni warga Jakarta selama pandemi COVID-19.

Mulai dari komunitas, kalangan akademisi, bahkan karang taruna sudah banyak bertanam sayuran, bahkan di pekarangan dan atap rumah pun sudah dimanfaatkan untuk budidaya sayuran dengan sistem hidroponik.

Namun yang menjadi pertanyaan saat ini apakah kegemaran bertanam sayuran ini sejalan dengan kegemaran masyarakat mengonsumsi sayuran?

Apabila keduanya bisa berjalan beriringan, dapat dipastikan petani baik yang ada di perkotaan maupun di perdesaan akan merasakan manfaatnya dari segi ekonomi.

Faktanya ternyata sebaliknya.

Konsumsi sayuran masyarakat Indonesia masih sangat rendah terlihat dari data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/ FAO) yang menyebutkan hanya 180 gram per kapita per hari padahal seharusnya 400 gram per kapita per hari.

Sejauh ini kebanyakan masyarakat masih menganggap apa yang disebut sayuran itu adalah bayam, kangkung, packoy, sawi, wortel, timun, kacang panjang, paria, tomat dan sebagainya. Namun, ternyata melon, semangka, jagung manis, labu, kentang juga termasuk sayuran.

Oleh karenanya, bila konsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat dapat digantikan dengan sayuran seperti pada kentang, labu, jagung. Maka target 400 gram per kapita per hari dapat tercapai. Bahkan di sejumlah negara, warganya dengan kesadaran untuk hidup sehat lebih memilih untuk mengonsumsi sayuran.

Kondisi demikian seharusnya bisa dilaksanakan di Indonesia mengingat produksi hortikultura sayuran di Indonesia sangat mencukupi.

Persoalannya kesadaran masyarakat sejauh ini masih rendah, sayuran dianggap sebagai makanan pendamping saja.

Bahkan menurut Profesor Ujang Sumarwan, Dekan Fakultas Ekologi Universitas Pertanian Bogor (IPB) dari hasil surveinya, konsumsi rokok di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan konsumsi sayuran.
Bertanam pakcoi bisa memanfaatkan lahan-lahan kosong (ANTARA/Ganet Dirgantoro)


Padahal di negara-negara maju, soal kesehatan pangan ini menjadi persoalan yang sangat penting. Bahkan dalam debat-depat pemilihan kepala negara, persoalan keamanan dan kesehatan pangan menjadi topik utama.

Cukup
Dengan demikian, persoalan masih rendahnya konsumsi sayuran di Indonesia bukan disebabkan terbatasnya pasokan. Namun lebih disebabkan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya mengonsumsi sayuran.

Hal ini diakui Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto yang menyebutkan kalau berbicara ketersediaan hortikultura sayuran di Indonesia sangat luas mencapai 1.000 hektare di berbagai kabupaten.

Baca juga: Sayuran super mini solusi pertanian perkotaan

Persoalannya, dengan luas sebesar itu seharusnya siap untuk ditampung pasar terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Saat ini mayoritas restoran-restoran terkemuka di Jakarta selalu mencantumkan sayuran dalam menunya.

Bahkan beberapa restoran ada yang berani membeli dengan harga tinggi di atas harga pasar, namun dengan standar dan kualitas yang tinggi juga.

Menurut Prihasto, dalam menghadapi wabah COVID-19 selain gencar menerapkan gerakan 3M, seharusnya penting juga digiatkan untuk mengonsumsi makanan-makanan yang sehat untuk menjaga daya tahan tubuh.

Pemerintah, lanjut Prihasto, sangat mendukung dengan langkah yang diambil PT East West Seed Indonesia (Ewindo) yang memproduksi benih sayuran super mini (micro green) yang merupakan sayuran super untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Menurut Managing Director Ewindo, Glenn Pardede, sebelum benih sayuran mini ini dipasarkan, sudah dilakukan riset matang selama enam bulan terutama terkait dengan ketahanan terhadap cuaca serta kemudahan dalam budidaya serta soal kandungan gizi di dalamnya.

Berbeda dengan benih sayuran yang ditujukan bagi petani atau orang yang gemar bercocok tanam. Benih sayuran mini ini tidak membutuhkan keahlian khusus, yang dibutuhkan di sini adalah ketekunan agar tanaman itu selalu disemprot air.

Glenn mengatakan hanya membutuhkan waktu sekitar 14 hari tanaman sudah dapat dipetik (digunting) serta bisa langsung dimakan sebagai lalap atau bisa juga dibuat untuk jus.

Untuk mendapatkan benih sayuran mini ini, jelas Glenn, juga sangat mudah sudah ada di toko-toko daring yang dikenal masyarakat. Dalam satu paket pembeli sudah mendapatkan benih, media tanam, wadah, serta alat semprot.

Wadah yang kecil tidak membutuhkan ruangan yang luas. Bahkan bisa ditempatkan di unit-unit apartemen yang berukuran studio sekalipun.

Marak
Pemprov DKI Jakarta menyadari banyaknya warga yang selama pandemi ini mulai bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan-lahan terbatas di rumahnya atau lahan-lahan kosong yang belum dibangun.

Hal ini diakui Kepala Bidang Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Pemprov DKI Jakarta, Mujiati yang mengatakan banyak masyarakat yang meminta melalui suku dinas di Pemkot dan Pemkab untuk diajarkan cara bercocok tanam.

Sejauh ini masyarakat sudah memanfaatkan pekarangan untuk bertanam sayuran, bahkan ada yang memanfaatkan pagar atau di atas saluran air/ got. Hasilnya sebagian untuk dikonsumsi masyarakat sendiri.
Berbekal ketekunan sayuran ini sudah dapat dipanen (Foto ANTARA/ Ganet Dirgantoro)


Mujiati mengakui, sementara ini masyarakat Jakarta masih bertanam sayuran yang lebih mudah dalam perawatannya seperti bayam, sawi, pakcoi, meskipun beberapa sudah ada yang berani bertanam tomat dan cabai.

Kegemaran baru masyarakat Jakarta bertanam sayuran ini membuat beberapa wilayah Jakarta udaranya menjadi lebih bersih dan segar. Kemudian apabila dipanen, setidaknya produksi sayuran ini dapat mendukung ekonomi keluarga
karena tidak perlu beli lagi.

Baca juga: Kelurahan Manggarai Selatan panen perdana sayuran hidroponik

Namun dalam budi daya sayuran ini Pemprov DKI juga diminta untuk mewaspadai cara pemeliharaannya. Mengingat banyak warga yang memanfaatkan tanaman sayuran ini di atas saluran air, patut juga diperhatikan kondisi saluran tersebut.

Seperti diketahui air di Jakarta sebagian besar telah tercemar logam berat. Jangan sampai sayuran itu disiram menggunakan air yang sudah tercemar tersebut. Karena kalau sampai dikonsumsi masyarakat juga tidak bagus bagi kesehatan dalam jangka panjang.

Sudah menjadi tugas dari Dinas KPKP Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan pendampingan dan bimbingan kepada masyarakat. Setidaknya dengan pendekatan yang baik mengenai cara bertanam yang sehat akan menghasilkan panen yang sehat juga.

Saat ini Pemprov DKI juga terus memperluas lahan-lahan abadi yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Lahan tersebut berada di lokasi-lokasi yang selama ini memang belum ada bangunan. Luasannya sangat besar bahkan beberapa sudah ada yang ditanami padi.

Harapannya ke depannya kesadaran masyarakat untuk bertanam sayuran ini tidak hanya berhenti sampai wabah COVID-19 saja. Namun bisa berlanjut dalam jangka panjang serta lebih ahli untuk bertanam sayuran yang lebih bervariasi, termasuk sayuran buah/umbi.

Kemudian pekerjaan rumah lainnya bagi Pemprov DKI Jakarta adalah bagaimana menyehatkan warganya agar lebih gemar lagi untuk mengonsumsi sayuran dan buah-buahan.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020