Sejarah Yugoslavia dan Uni Soviet bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam mengelola bangsa dan negara.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan sila-sila yang ada dalam Pancasila bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia, dan nilai-nilainya diambil dari "perut" bumi bangsa Indonesia sendiri, yang sudah hidup sejak lama.
"Pemuda Indonesia harus meyakini bahwa keputusan para pendiri bangsa, yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara adalah pilihan terbaik," kata Hidayat Nur Wahid (HNW) dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Selain itu, kata HNW, keputusan untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan cara musyawarah mufakat
Hal itu dikatakannya secara daring dalam acara Temu Tokoh Nasional/Kebangsaan kerja sama MPR dengan Garuda Keadilan Provinsi Lampung di Lampung, Minggu (15/11). Tema yang dibahas dalam acara tersebut adalah Pemuda Terdepan dalam Mengawal Kemajuan, Keamanan, dan Kecintaan kepada NKRI.
Seperti kata Bung Karno, menurut HNW, presiden pertama RI ini tidak pernah membuat sendiri Pancasila namun menggali nilai-nilai yang sudah tumbuh sejak lama di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kata dia, Pancasila bisa diterima seluruh rakyat Indonesia, dan tidak ada satu sila pun yang bertentangan dengan nilai-nilai yang tumbuh serta berkembang dalam masyarakat.
"Pancasila bukan agama. Namun, tidak ada satu pun agama yang bertentangan dengan Pancasila," ujarnya.
Sejak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berbarengan dengan penetapan konstitusi, lanjut dia, tidak ada satu kelompok masyarakat pun yang menolak keberadaan Pancasila.
Bahkan, ketika Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya meninggal, Pancasila tetap tegak berdiri, tidak ada penolakan dari masyarakat mana pun.
Berbeda dengan Yugoslavia, kata dia, negara di Kawasan Balkan yang didirikan Josip Bros Tito akhirnya terpecah setelah pendirinya mangkat.
Yugoslavia terbagi menjadi negara-negara kecil sesuai dengan etnis dan suku bangsa yang hidup di daerah tersebut, beberapa negara muncul sebagai pengganti Yugoslavia, antara lain Serbia, Kroasia, Slovenia, dan Bosnia-Herzegovina.
Uni Soviet, menurut HNW, negara yang sudah tidak ada dalam peta dunia mengalami perpecahan setelah pemerintah berkuasa memaksakan kebijakan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi).
Kebijakan tersebut, kata dia, dipaksakan oleh penguasa dan hendak menggantikan ideologi komunis yang sudah lama hidup di tengah masyarakat Uni Soviet.
"Sejarah Yugoslavia dan Uni Soviet bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam mengelola bangsa dan negara," katanya.
Selain menerima dan mensyukuri dasar serta ideologi Pancasila, kata Hidayat, generasi muda juga harus mendukung pilihan terhadap bentuk negara kesatuan dalam bingkai NKRI.
Pilihan tersebut, menurut dia, sangat sesuai dengan wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau diserta keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat budaya serta agama.
"Pilihan tersebut membuat Indonesia tetap kukuh meskipun pada tahun 1998 terjadi gerakan reformasi. Kala itu banyak pengamat meramalkan bahwa Indonesia akan terpecah belah setelah era reformasi, nyatanya ramalan itu tidak terjadi," katanya.
HNW menegaskan bahwa seluruh bangsa Indonesia menghendaki tetap berada dalam satu gerbong NKRI meskipun reformasi menyebabkan banyak perubahan, termasuk amendemen UUD 1945, tetapi dasar dan ideologi Pancasila serta bentuk negara NKRI tidak mengalami perubahan apa pun.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020