"Mungkin kesemutan, infeksi, gatal-gatal, infeksi kelamin bahkan ada pasien yang berobat sudah dalam kondisi berat disertai jantung dan stroke," kata dia pada diskusi daring dalam rangkaian memperingati Hari Diabetes Sedunia yang dipantau di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan untuk mengetahui seseorang mengidap diabetes atau tidak, maka tidak cukup hanya dengan melihat gejala pada pasien saja. Sebab, tidak semuanya bergejala dengan jelas.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pemeriksaan gula darah. Baik itu pemeriksaan gula darah puasa yakni dengan kadar lebih dari 126 mg/dl, gula darah acak lebih dari 200 mg/dl hingga pemeriksaan HbA1c lebih dari 6,5 persen.
Baca juga: Diabetes tak cukup dikenali hanya dari gejala
Baca juga: Parasetamol amankah untuk penyandang diabetes?
"Jika gula darah puasanya lebih dari 126 mg/dl atau gula darah acak lebih dari 200 mg/dl maka ia bisa disebut terkena diabetes," katanya.
Jika melihat data angka penderita diabetes di Tanah Air, berdasarkan riset kesehatan dasar (riskedas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak 2007, 2013 dan 2018 terjadi peningkatan tajam pada kelompok usia dewasa.
Prevalensi diabetes terus mengalami peningkatan. Mulai dari 5,7 naik menjadi 6,9 hingga 10,9 pada 2018. Kondisi tersebut diperparah dengan masih banyaknya orang yang tidak mengerti jika ia sedang mengidap penyakit itu.
"Jadi pasien itu tidak mengerti ada diabetes, itu bisa dua kali lipat hingga enam kali lipat jika dilihat dari data 2018," katanya.
Risiko terbesar pada kasus orang-orang tidak mengetahui tadi ialah sudah mengalami komplikasi ketika pergi berobat ke rumah sakit.
Secara global, Indonesia berada pada urutan ketujuh penduduk terbanyak yang mengidap diabetes dengan jumlah 10,7 juta jiwa. Sedangkan Cina, India dan Amerika Serikat masing-masing di posisi pertama, kedua dan ketiga penyumbang diabetes terbanyak.*
Baca juga: Batasi waktu makan bisa bantu turunkan berat badan?
Baca juga: Mengapa anak muda bisa kena diabetes?
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020