Untuk menanggulangi resesi akibat pandemi, pemerintah telah menetapkan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun. Dana itu selayaknya bisa ikut mengungkit industri lokal bukan malah menggemukkan importir.
Pemerintah diminta mengawasi dengan ketat barang impor dalam rangka pengadaan barang proyek pemerintah untuk menyelamatkan industri nasional yang saat ini dihadapkan pada resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Realisasi kebijakan yang mengutamakan produsen dalam negeri sesuai dengan Perpres TKDN (Tingkat Kandungan Lokal Dalam Negeri) sejauh ini terkesan belum optimal, karena pengadaan barang proyek pemerintah masih lebih banyak menyerap barang impor sehingga kian mengikis harapan pasar bagi industri nasional.
“Untuk menanggulangi resesi akibat pandemi, pemerintah telah menetapkan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun. Dana itu selayaknya bisa ikut mengungkit industri lokal bukan malah menggemukkan importir,” kata Himpunan Industri Mebel dan Kerajinnan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Mendag pastikan RI tidak banjir impor setelah RCEP diteken
Menurutnya, saat ini arus PHK tak terbendung karena banyak sektor usaha yang mandek. Kucuran bantuan sosial tak bisa bisa menstimulasi geliat usaha karena berbentuk natura yang merupakan komoditas dari perusahaan besar dengan kekuatan modal besar.
“Mayoritas pengusaha industri mebel dan kerajinan yang padat karya dan tersebar di banyak wilayah tidak berkembang. Bantuan belum kunjung tiba, namun stimulus pasar malah dilahap pemain impor,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Presiden PT Panasonic Gobel Eco Solutions Manufacturing Indonesia Heru Satoso menegaskan keberpihakan kepada industri nasional sangat diharapkan, karena tanpa bantuan dan keberpihakan pasar, manufaktur lokal yang telah membangun industri akan sulit bertahan.
Baca juga: Menunggu gebrakan selamatkan pasar produk industri nasional
“Pemerintah harus melihat mana yang paling mendesak untuk jangka pendek, menengah, dan panjang penyelamatan pelaku industri dan bisnis dalam krisis saat ini. Pemerintah jangan sampai mengambil langkah sporadis dan membuka selebar-lebarnya pelaku industri yang totalitas hanya berorientasi impor, padahal tidak melakukan investasi apalagi kedalaman industri,” tegas Heru.
Heru menekankan pentingnya pemerintah meninjau kondisi di lapangan secara faktual. Setidaknya, pemerintah bisa memilah mana usulan impor yang berguna bagi industri nasional, mana impor yang hanya memanfaatkan label SNI namun nyatanya didatangkan secara CKD atau utuh.
Pengawasan
Di sisi lain, ekonom Indef Enny Srihartarti menilai rendahnya penyerapan produk dalam negeri dalam pengadaan barang pemerintah dan BUMN, karena Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai pelaksana tidak melakukan penyesuaian atau perubahan dalam peraturannya.
“Seharusnya dengan kebijakan TKDN itu kita bisa menerapkan Non Tarif Management atau NTM [Non Tarrif Measure] dan ini lumrah dilaksanakan berbagai negara di dunia untuk melindungi industri dalam negeri mereka,” kata Enny Srihartati.
Sebelumnya, Kadin Indonesia menyoroti masalah rendahnya serapan produk lokal dalam lelang pengadaan barang oleh instansi pemerintah dan BUMN. Kondisi ini terjadi karena aturan yang dibuat LKPP sebagai pelaksana cenderung menguntungkan produk impor.
Sebagai dampaknya, dana ratusan triliun dalam anggaran belanja pemerintah dan BUMN yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri menjadi tidak efektif.
“Kalau LKPP hanya prioritas harga murah, importasi material atau barang lainnya akan membanjiri pasar kita, terutama misal dari China atau negara lain yang lebih efisien. Maka produsen atau industri lokal kalah lebih dulu. Jadi patokannya jangan harga murahnya, lihat juga sisi kandungan lokalnya dan tentu kualitas,” kata Enny.
Ia juga menyoroti pengelolaan neraca dagang di mana pengawasan barang impor masih lemah. “Impor harus diawasi ketat. Hanya impor untuk produk bahan baku atau bahan baku penolong yang berorientasi ekspor yang dipermudah, bukan sekadar untuk produk yang dipasarkan di domestik,” katanya.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020