Menteri Agama Fachrul Razi kepada wartawan di Jakarta, Rabu mengatakan setidaknya terdapat empat hal yang perlu diperbaiki ke depan. Pertama, perlu karantina jamaah umrah minimal tiga hari sebelum berangkat.
"Ini dilakukan guna memastikan proses tes PCR/swab dilakukan dengan benar, tidak mepet waktunya dan menghindari risiko adanya pemalsuan data status jamaah," kata dia.
Kedua, kata dia, agar ada verifikasi dan validasi dokumen hasil tes usap yang dilakukan oleh petugas Kementerian Kesehatan Indonesia sesuai protokol kesehatan untuk pelaku perjalanan dari luar negeri.
"Hasil di lapangan, bukti dokumen bebas COVID-19 belum terferifikasi secara sistem sehingga masih ada kemungkinan pemalsuan bebas SARS-CoV-2," katanya.
Ketiga, lanjut Menag, jamaah harus melaksanakan disiplin yang ketat terkait dengan penerapan protokol kesehatan selama masa karantina, baik di Tanah Air maupun di hotel tempat jamaah menginap di Tanah Suci.
Terakhir, kata dia, saat kedatangan jamaah umrah di Tanah Air agar dilakukan prosedur karantina oleh KKP Bandara Soekarno Hatta jika jamaah tidak dapat menunjukkan bukti hasil tes usap negatif COVID-19 dari Saudi.
"Jamaah akan dites PCR/swab selama masa karantina dan baru diizinkan melanjutkan perjalanan ke daerah asal setelah menunjukkan hasil negatif," kata dia.
Sebelumnya, Arab Saudi membuka penyelenggaraan ibadah umrah uji coba dalam tiga gelombang, yaitu pada 1, 3 dan 8 November 2020 dengan total 359 orang jamaah Indonesia. Mereka diberangkatkan oleh 44 penyelenggara perjalalanan ibadah umrah (PPIU). Pada perjalanan waktu terdapat 13 orang jamaah yang positif COVID-19.
Pada uji coba itu, kata Fachrul, tidak ada karantina jamaah sebelum berangkat terlebih dahulu. Namun, mereka langsung berkumpul pada hari keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Selain itu, jamaah melakukan tes usap mepet dengan waktu keberangkatan dan pada satu laboratorium sehingga hasil uji laboratorium belum keluar saat akan berangkat.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020