Meski begitu, Yenti menilai Kejagung masih perlu melanjutkan koordinasi dengan kepolisian dalam perburuan aset-aset di luar negeri milik terpidana Benny Tjokrosaputro (Bentjok) dan Heru Hidayat.
Perburuan itu perlu dilakukan bukan hanya untuk dana pengganti, sebagaimana vonis pada pengadilan negeri, yakni senilai Rp16 triliun untuk kedua terpidana tersebut.
Namun, perburuan juga perlu sebagai upaya penelusuran apakah benar dugaan terpidana juga terlibat pada pembobolan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (Persero).
"Sangat memungkinkan penegak hukum untuk melacak aset Bentjok dan Heru hingga ke luar negeri dalam hal kasus korupsi dan TPPU," kata Yenti saat diskusi virtual yang diselenggarakan Ruang Anak Muda, Rabu (18/11/2020).
Apalagi, lanjut Yenti, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah melakukan kerja sama hampir ke seluruh negara untuk memudahkan pelacakan dana hasil korupsi.
Sehingga penegak hukum dapat menelusuri aliran dana dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilarikan ke luar negeri.
"Negara kita telah mengantisipasi untuk pelacakan aliran dana hingga ke luar negeri, PPATK telah melakukan kerja sama hampir ke seluruh negara di dunia," kata dia.
Sebagaimana diketahui, Bentjok dan Heru telah dijatuhi hukuman pidana seumur hidup dan membayar uang pengganti Rp16 triliun oleh majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat, karena diyakini kedua orang tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang pengelolaan dana investasi PT. Asuransi Jiwasraya (Persero).
Adapun besaran uang pengganti yang wajib dibayar Bentjok Rp6 triliun, sedangkan Heru Hidayat diwajibkan membayar uang pengganti Rp10 triliun.
Apabila dalam waktu satu bulan setelah perkara mendapat kekuatan hukum tetap (inkrah) terpidana tidak melakukan pembayaran, maka negara akan menyita harta benda terpidana secara paksa dan akan dilelang, untuk menutupi uang pengganti.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020