”Saya lebih memilih pendekatan itu karena biasanya orang yang memahami dan mengerti tentang budaya, itu sikap toleransinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenal.” ujar Darmaningtyas dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, bila pendekatannya itu melalui materi seperti P4, materi Pancasila, agak sulit untuk bisa diterapkan. Sebab hal itu berarti harus melawan arus dengan narasi yang sudah dibangun oleh ideolognya,
Menurut alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, penanaman toleransi melalui pendekatan sosial, seni dan budaya bisa jauh lebih cair.
Oleh karena itu, ia menyarankan sebaiknya pemerintah menggalakkan kegiatan-kegiatan seni budaya di masing-masing wilayah. Seperti di Yogyakarta hampir setiap sekolah ada gamelan yang dijadikan instrumen untuk pendidikan karakter.
Baca juga: Peringati Maulid, Muhammadiyah dorong toleransi kehidupan berbangsa
Baca juga: Wapres harap pesantren berperan penting hadapi tantangan global Islam
Baca juga: Ma'ruf Amin: Alhamdulillah, arus utama Islam di Indonesia "wasathi"
”Oleh kerena itu semestinya jam pelajaran seni dan budaya itu ditambah, bukan malah dikurangi. Sekarang ini kan yang ditambah itu malah pelajaran agama, sementara yang dikurangi justru malah pelajaran seni dan budayanya. Perlu dilakukan kalau mau agak sistematik dan jangka panjang untuk menangkal intoleranssi di lingkungan sekolah, yaitu melalui penanaman sosial, seni dan budaya itu tadi,” paparnya.
Dia menyampaikan kalau metode yang digunakan, seperti Penataran P4 tidak akan signifikan, karena Rohis (Rohani Islam) di sekolah itu sudah menjadi kekuatan tersendiri.
Padahal pembinaan pendidikan agama Islam itu lebih baik di lakukan oleh guru agama, bukan malah dilakukan oleh seniornya atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
”Kalau misalkan untuk mengurangi kebosanan karena pelajaran agama juga ketemu guru agama maka bisa mendatangkan ustad-ustad yang paham kebangsaannya yang tinggi. Dan jangan diserahkan kepada mahasiswa atau seniornnya,” jelasnya.
Dirinya mengakui bahwa memang tidaklah mudah untuk mengikis virus intoleransi yang ada di lingkungan sekolah untuk saat ini, karena penyebarannya sudah sistematis, karena guru-gurunya rata-rata juga sudah terkontaminasi.
Hal ini sangat berbeda dengan di jaman sebelum tahun 90-an, yang guru-gurunya relatif belum terkontaminasi oleh berbagai aliran, kata Darmaningtyas.
“Karena waktu kuliah saat itu juga mereka mungkin tidak terlalu aktif di organisasi, jadi relatif mereka nggak terkontaminasi. Sehingga ketika mengajar pun mereka tidak mengajarkan ideologi. Tetapi pasca reformasi, organisasi-organisasi seperti HTI itu sangat marak di kampus-kampus,” ujarnya.
Selain itu, menurut mantan Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini adalah ketidaktahuan orang tua murid dalam memilih sekolah berbasis agama bagi anaknya, utamanya di tingkat SD yang mana sebetulnya itu penyebaran intolerasinya tinggi.
“Orang tua banyak yang tidak tahu mengenai latar belakang sekolahnya seperti apa, guru-gurunya seperti apa, termasuk sekolah yang berafiliasi dengan ideologi yang menganut intoleransi tadi,” katanya
Untuk itu pria yang juga anggota Dewan Penasehat CBE (Center for The betterment of Education) itu juga berpesan agar jangan sampai penanaman ideologi ini menjadi doktriner, sebab bila menggunakan metode doktriner pasti menimbulkan resistensi.
Menurut dia, metodenya yang harus diubah, seperti seni dan budaya itu pesan-pesan ideologinya akan bisa disampaikan, tanpa terasa doktriner.
”Pemerintah harus punya sikap tegas terhadap pendidik atau kepala sekolah atau pejabat publik yang bersikap intoleran. Itu harus dicegah, apalagi guru, kepala sekolah yang seharusnya mengajarkan toleransi kepada muridnya, kok malah dia menanamkan benih-benih intoleran, harus dicopot itu,” tegas Pengurus Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK) itu.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020