"Harus bersyukur kalau kita dapat vaksin," katanya saat diskusi daring dengan tema "Tata Laksana Vaksinasi di Indonesia" yang dipantau di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan masyarakat harus bisa membedakan vaksin dan obat. Vaksin diberikan kepada orang dalam kondisi sehat, sedangkan obat diberikan untuk penyembuhan suatu penyakit. Artinya, sebelum terinfeksi COVID-19 masyarakat harus mengantisipasi dengan vaksin.
Baca juga: Pakar imunisasi tekankan penyelenggara vaksinasi harus kompeten
Apalagi, kata dia, bagi penyintas COVID-19 jangan pernah euforia karena merasa bangga karena telah sembuh. Sebab, ke depan efek yang ditimbulkan dari penyakit tersebut bisa saja terjadi.
Saat ini dunia terus memantau orang-orang yang pernah terpapar COVID-19. Dikhawatirkan dua atau lima tahun ke depan bisa saja kesehatan mereka memburuk akibat penyakit yang diderita sebelumnya.
"Dua tahun, lima tahun atau hingga 20 tahun ke depan masih sehat kah? Ini semua masih diteliti," ujar dia.
Sebagai contoh, orang yang pernah terkena cacar air lalu sembuh. Namun, tanpa disadari, ternyata penyakit tersebut tidur di saraf tertentu dan 20 tahun ke depan timbul cacar ular atau herpes zoster.
"Itu bisa terjadi terutama kalau kondisi kita memburuk," katanya.
Baca juga: Pakar: sebagian besar reaksi imunisasi tidak berkaitan dengan vaksin
Baca juga: Bio Farma: Tim uji klinis vaksin Sinovac tunggu hasil monitoring
Baca juga: WHO: Vaksin COVID Pfizer "sangat menjanjikan", namun ada tantangan
Contoh lainnya, yakni campak. Anak-anak yang telah sembuh dari campak sekitar 30 tahun kemudian sebagian dari mereka terkena radang otak yang mengakibatkan lumpuh seumur hidup.
"Artinya, COVID-19 ini kita tidak tahu bisa menjadi apa, jadi jangan merasa bangga kena COVID-19 lalu sembuh," ujar dr Jane.
Oleh karena itu, ia mengingatkan masyarakat agar jangan sampai terpapar COVID-19. Karena ke depannya efek jangka panjang belum diketahui secara pasti.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020