• Beranda
  • Berita
  • Kawasan Gambut Kampar Dapat Dikelola Secara Ekonomis

Kawasan Gambut Kampar Dapat Dikelola Secara Ekonomis

9 Mei 2010 12:13 WIB
Kawasan Gambut Kampar Dapat Dikelola Secara Ekonomis
Semenanjung Kampar (greenpeace.org)
Jakarta (ANTARA News) - Kawasan gambut di Semenanjung Kampar, Riau, tetap dapat dikelola secara ekonomis sepanjang kawasan hulu sungai dan rawa dengan ketebalan gambut mencapai tiga meter dijadikan kawasan konservasi atau hutan lindung.

Untuk itu, menurut Direktur Programe Tropenbos Internasional Indonesia, Petrus Gunarso, di Jakarta, Minggu, "Kementerian kehutanan bisa memanggil dan mengajak empat pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hutan alam (IUPHHK-HA/HPH) di zona hulu sungai kawasan gambut Kampar mengubah izin konsesinya menjadi IUPHHK Restorasi Alam".

Dengan demikian, kata Petrus Gunarso , kawasan yang berada di tengah Semenanjung Kampar dengan luas sekitar 280.000 hektare tersebut bisa terjaga ekosistemnya.

Nantinya, keempat perusahaan pemegang IUPHHK-HA (HPH) tersebut juga bisa memanfaatkan izin konsesi restorasi alam miliknya itu untuk meraih potensi pendapatan dari perdagangan karbon. Apalagi, kata Petrus, keempat unit manajemen pemegang izin konsesi IUPHHK-HA tersebut kini sudah tidak aktif lagi menjalankan operasi HPH-nya.

Di sisi lain, lebih dari 20 perusahaan yang kini mengusahakan perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan agroindustri harus mau bekerja sama untuk menerapkan teknologi pengelolaan kawasan gambut yang ramah lingkungan dan lestari (eco-hydro), katanya.

Melalui kerja sama , tegas Petrus, fungsi lahan gambur sebagai "reservoir" air dan karbon tetap terjaga.

Saat ini, ada lebih dari 25 unit manajemen, di antaranya perusahaan di kelompok usaha Sinar Mas, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Pertamina, dan perusahaan perkebunan, yang mengantungi izin usaha di kawasan gambut tersebut.

Namun yang pasti, menurut dia, kondisi lahan gambut di Kampar yang luasnya mencapai 700.000 hektare masih lebih baik daripada kawasan satu juta hektare gambut di Kalteng yang dibuka untuk areal pertanian pada masa Orde Baru.

"Kondisi Kampar dengan lahan gambut di Kalteng sangat beda. Kampar lebih baik karena belum sepenuhnya terdegradasi," kata Petrus.

Tidak mudah

Menyinggung keinginan kalangan LSM menjadikan seluruh Semenanjung Kampar sebagai kawasan konservasi, dia menegaskan hal itu tidak semudah yang dikatakan.

"Siapa yang bisa memastikan kawasan seluas 700.000 hektare bebas dari perambahan dan pembalakan liar. Apalagi sudah ada kanal-kanal untuk kegiatan pembalakan liar (illegal logging) yang menembus jauh ke hulu sungai kawasan Kampar. Tahu sendiri bagaimana para pembalak liar (illegal logger)," katanya.

Petrus melontarkan usulan itu terkait dengan hasil "rapid assessment" yang dilakukan Tropenbos Internasional Indonesia di kawasan gambut tersebut.

Dia menjelaskan Tropenbos pada awalnya memang diminta untuk mengkaji kawasan RAPP, tetapi akhirnya kajian dilakukan untuk seluruh kawasan karena tidak ada gunanya jika penelitian hanya dilaksanakan di kawasan milik perusahaan itu.

"Kami juga melakukan kajian atas penerapkan water table di areal HTI konsesi RAPP. Apalagi, perusahaan ini sebelumnya menyatakan mereka dapat mengurangi degradasi, menekan emisi karbon, dan mengurangi pembalakan liar. Selain itu, mereka juga melakukan pendekatan lingkungan di areal konsesinya dengan membangun kawasan penyangga untuk area perkebunan yang ada di sekitarnya," kata Petrus.

Perusahaan ini juga berkomitmen melakukan identifikasi dan pengelolaan area yang memiliki nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) sebagai habitat alam untuk jenis-jenis endemik yang langka, situs sejarah dan tempat suci, atau sumber mata pencaharian masyarakat lokal.

Tropenbos dalam kajiannya yang melibatkan 21 peneliti, 20 asisten peneliti, dan 40 asisten lokal merekomendasikan pengembangan lembaga kolaboratif Pengelolaan Semenanjung Kampar dalam kerangka pembangunan wilayah secara berkelanjutan.

Untuk itu, opsi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model Kolaboratif atau menyerahkan pembangunan lembaga kolaboratif kepada aktor kunci pembangunan di Semenanjung Kampar.

Selain itu, Kementerian Kehutanan juga harus memantau dan mengevaluasi secara ketat pengelolaan HTI berdasarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan tanaman lestari, termasuk penerapan eco-hydro buffer oleh seluruh pelaku pembangunan di Semenanjung Kampar.

Sementara swasta yang mengelola usahanya di kawasan ini harus menerapkan "ecohydro buffer" pada seluruh areal hutan tanaman yang dikelolanya, menyusun program pengelolaan habitat harimau sumatera di areal konsesinya.

Selain itu, mereka membicarakan penetapan ruang kelola masyarakat, menyusun program pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada potensi sumber daya alam, dan dan mewujudkan pengelolaan hutan tanaman lestari yang dapat dibuktikan dengan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
(T.A027/A011/P003)

Pewarta: handr
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010