Makenun, guru anak rimba di pedalaman Jambi

28 November 2020 16:47 WIB
Makenun, guru anak rimba di pedalaman Jambi
Suasana mengajar terhadap anak anak orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) di dalam hutan di Provinsi Jambi. (ANTARA/HO/Warsi)
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD), merupakan suku adat marginal yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil di dalam hutan maupun perkebunan.

Mengajarnya mengikuti dimana kelompok mereka berada, mereka melangun, ikut melangun, yang penting anak-anaknya tetap mau belajar, itulah yang diungkapkan oleh Jauharul Maknun (35), nama guru yang mengajar anak anak SAD atau orang rimba tersebut.

Bahkan ketika pandemi COVID-19 saat ini, Maknun merupakan staf pendidikan Warsi itu, tetap mengajar anak rimba di dalam hutan.

“Kami tidak mungkin melakukan pembelajaran atau pendidikan jarak jauh karena keterbatasan alat dan kemampuan orang rimba mengakses perangkat pelajaran jarak jauh sangat terbatas," kata Maknun.

Pilihannya adalah tetap bersama komunitas. Mengisolasi diri bersama mereka, menjaminkan bahwa para guru yang ada bersama komunitas tidak tertular penyakit berbahaya.

"Seperti Lebaran tahun ini, di tengah pandemi, kami tinggal bersama orang rimba, tetap mengajar seperti biasa, yang berbeda kami tidak keluar dari kelompok sehingga tetap bisa diterima dan tetap bisa menjalankan pendidikan," kata Maknun yang merupakan lulusan sastra Inggris Akademi Bahasa Asing (ABA) Nurdin Hamzah Jambi itu.

Makenun, begitu anak-anak rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) menyapa Jauharul Maknun. Nama yang sulit dilafalkan dalam bahasa rimba namun Maknun, tersenyum kala muridnya menyapanya langsung dengan sebutan nama tanpa ada embel-embel Bapak di depannya.

Di rimba tidak dibiasakan menyebut orang lain dengan sebutan Bapak. Sebutan Bapak ditujukan untuk menyapa seseorang yang sudah punya anak dan penamaannya mengacu ke nama anak pertamanya. Misalnya Bepak Bejoget, itu artinya Bepaknya si Bejoget.

Dengan demikian Maknun, santai saja dipanggil nama oleh murid-muridnya. Sejak 2013 bergabung sebagai guru rimba. Maknun di sapa nama saja sama muridnya. Biar lebih dekat saja, lagi pula dalam berbicara jarang menyebut nama, paling disapa guing atau guding maupun bebet, kata Maknun.

Orang Rimba mengenal sebutan Guing atau guding untuk pembicaraan antara laki-laki dengan laki laki, dan bebet atau item untuk pembicaraan laki-laki ke perempuan dan sebaliknya.

Karenanya Maknun santai saja tanpa embel-embel sebutan di depan namanya. Yang penting bagi Maknun, sehari-hari mereka bergaul mengapai asa, mengentaskan buta aksara di belantara dan tugas Maknun adalah mengajar baca tulis dan hitung pada anak-anak rimba dari satu kelompok ke kelompok lainnya di dalam hutan.

Orang rimba, menurut Maknun, sangat takut dengan penyakit. Mereka punya cara tersendiri mengatasi penyakit, diantaranya dengan memisahkan orang yang sakit dengan yang sehat. Hal ini diistilahkan mereka dengan sebutan 'sesandingon'.

Orang rimba langsung bersesandingon dengan orang dari komunitas mereka. Kami yang sejak awal dengan mereka dianggap bagian mereka sehingga tidak dipisahkan, namun kalau kami meninggalkan mereka misalnya dan kembali lagi ke kelompok itu, maka kami tidak akan diterima lagi oleh mereka sebelum menjalani masa sesandingon, kata Maknun.

Untuk mengurangi segala risiko, maka selama pandemi Maknun dan tim Warsi lebih banyak tinggal bersama Orang Rimba. Dengan tetap tinggal bersama mereka, kami tetap bisa mengajar anak orang rimba, kata Maknun.

Dia  tidak hanya mengajar anak-anak rimba langsung di belantara. Namun, juga memfasilitasi anak-anak rimba yang sekolah formal. Selama pandemi anak rimba yang bergabung sekolah formal mengikuti arahan dari pihak sekolah untuk pembelajaran jarak jauh.

Dalam waktu sepekan tetap ada anak-anak ke sekolah mengambil tugas dan mengantarkan tugas yang diberikan guru sekolah.

"Kami membantu anak-anak yang belajar jarak jauh untuk memahami dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru mereka dari sekolah," kata Maknun.

Baca juga: Forum Kemitraan sosialisasi pencegahan COVID-19 ke Suku Anak Dalam

Baca juga: Seorang warga Suku Anak Dalam tewas dililit ular piton


Ruang belajar

Maknun memfasilitasi anak-anak rimba ini untuk belajar di kantor lapangan milik Warsi di Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Sarolangun yang juga di fungsikan sebagai rumah singgah bagi anak rimba yang sekolah formal.

Di kantor inilah Maknun dan tim Warsi mengajari anak-anak rimba untuk memahami pembelajaran yang mereka berikan. Ibaratnya menjadi orang tua yang mendampingi anak-anak rimba belajar jarak jauh.

"Dengan pekerjaannya ini saya merasa senang mendampingi mereka belajar. Sungguh suatu kebahagiaan karena ini tugas mulia membantu mencerdaskan anak bangsa," kata dia.

Maknun awalnya juga ingin keluar menentang adat orang rimba atau Suku Anak Dalam itu, namun akhirnya melakukan pekerjaannya mengajar anak rimba tersebut dengan ikhlas dan akhirnya bangga.

Dulu ketika menyatakan akan bekerja sebagai guru rimba Maknun sempat ditentang oleh pihak keluarga. Alasannya jika ingin menjadi guru kenapa harus mengajar jauh-jauh ke dalam rimba, bekerja di kota atau minimal kabupaten jauh lebih baik dan tentu prestisius.

Mengajar Orang Rimba yang dalam sebutan Melayu dinamai Kubu, dianggap masyarakat kebanyakan bukanlah pekerjaan prestisius. Kubu, dianggap sebagai kelompok masyarakat bawah, jorok, kotor dan penuh magik.

"Apalagi kalau keluarga tahu saya tinggal bersama Orang Rimba, makin kuat penolakan itu," kata Maknun.

Namun, seiring waktu dia bisa meyakinkan keluarganya, bahwa mengajar anak-anak rimba merupakan pekerjaan suatu kebaikan untuk bisa mengangkat derajat kelompok masyarakat penghuni hutan itu.

"Aku sering cerita bertapa semangatnya anak-anak itu ketika ku kunjungi, bagaimana mereka menyambut. Bahkan selalu mau belajar ketika aku datang, tak peduli malam sekalipun mereka selalu mengerubungi aku, minta diajarkan berbagai hal," katanya.

Cerita yang disampaikan dan foto-foto bahagianya anak rimba ketika di ajar Maknun, akhirnya meluluhkan keluarga.

"Ketika kita hidup membawa kebaikan untuk orang lain, di situ kita merasa hidup itu bermakna," kata Jauharul Maknun putra kelahiran Lubuk Resam Kabupaten Batanghari, Jambi, 8 Juni 1985 ini.

Baca juga: Kawasan terpadu Suku Anak Dalam diserahkan TNI ke Pemkab Sarolangun

Baca juga: Perusahaan sawit bantu jaga ketahanan pangan Orang Rimba


Adat berbeda

Orang Rimba masih tertinggal jauh dalam pendidikan. Pola hidup mereka di dalam hutan dan memiliki pandangan budaya yang berbeda dengan masyarakat Melayu. Orang Rimba dalam sejarah hidup mereka mengambil posisi berkebalikan dengan masyarakat Melayu.

Konon dahulu antara nenek moyang Melayu dan nenek moyang Orang Rimba sudah bersumpah untuk pola hidup berkebalikan. Jika orang Melayu berumah, maka Orang Rimba tidak berumah dan tinggal di dalam pondok.

Jika Melayu berkampung dan beragama, maka Orang Rimba tidak berkampung dan beragama sejak nenek moyang mereka pun demikian dalam hal makanan, jika hewan ternak halal di makan masyarakat Melayu maka itu pantang di makan Orang Rimba dan sebaliknya hewan liar yang dikonsumsi Orang Rimba haram bagi masyarakat Melayu.

Pola ini terbentuk sudah turun temurun, mempengaruhi aspek kehidupan kedua kelompok masyarakat. Ketika hutan masih luas, masing-masing kelompok masyarakat Melayu dan Orang Rimba bisa menjalankan tradisi mereka tanpa ada benturan.

Namun, ketika hutan makin sempit interaksi kedua kelompok makin dekat. “Di sini konflik mulai sering muncul. Pendidikan adalah satu cara yang kami kembangkan untuk meminimalisir konflik sosial yang mungkin terjadi, kata Maknun.

Kondisi orang rimba yang bisa diibaratkan berada di persimpangan, diantara gempuran perubahan sumber daya hutan yang memaksa mereka berubah. Namun, tanpa pendidikan yang memadai hangat sulit bagi suku anak dalam itu untuk bertahan hidup layak dan nyaman.

Kenyataan ini juga yang semakin motivasi dan menguatkan niat Maknun bersama tim Warsi lainnya untuk terus berbuat bersama orang rimba. Banyak kisah menarik yang dialami Maknun kala mengajar anak-anak rimba. Satu diantaranya yang paling berkesan adalah kala hidup dalam kepungan ‘banjir’.

Kala itu Maknun mengajar anak-anak rombong Tumenggung Grip di Kedudung Muda Taman Nasional Bukit Duabelas. Setelah sepekan di sana, ia juga harus mengunjungi anak-anak muridnya di Aer Behan tempat Tumenggung Bebayang. Perjalanan Kedudung Muda dan Aek Behan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 7 jam.

Hari sudah menjelang sore kala Maknun memulai perjalanannya. Ada lima anak rimba yang menemaninya yakni Ceriap, Nahan, Besati, Bepuncak dan Besimbur. Perjalanan itu berlangsung ceria dan aneka cerita menemani perjalanan malam itu. Sekitar jam 8 malam, mereka rehat.

Tanoh Kepayong, demikian Orang Rimba menamakan daerah itu. Maknun dan seorang anak rimba yang menemaninya, membangun tenda. Masak makan malam dengan kemudian mereka lanjut tidur. Tidak disangka, tengah malam turun hujan deras. Mereka melanjutkan tidur, namun menjelang pagi, mulai terasa lembab.

Maknun bergegas bangun, anak-anak rimba lainnya juga sudah ada yang terbangun. "Banjir!" teriak Maknun ketika dia membuka tenda dome yang mereka tempati.

Hujan masih belum reda, air sungai makin naik. “Kami di kepung sungai mau pindah sudah tidak bisa menyeberang karena sungai sudah terlanjur dalam. Tenda sudah di masuki air, logistik basah. Untungnya alat-alat tulis dibungkus dengan plastik sehingga aman dari serbuan air.

Maknun dan anak-anak rimba itu duduk jongkok dalam tenda. Ada anak yang bosan berdiam diri dalam tenda. Memilih untuk memanjat pohon. Matahari sudah tinggi, lapar pun mulai terasa.

"Kami makan roti, untung persediaan ada. Sampai malam air sungai masih tinggi kami masih belum bisa menyeberang," kenang Maknun pada kejadian Februari 2018 lalu.

Malam itu Maknun kembali menginap di sana, untungnya tenda sudah tidak terendam. Hanya saja untuk memasak masih belum bisa, kayu basah. Malam itu mereka mengganjal perut dengan mie instan tanpa dimasak.

"Dikasih bumbu dan kami makan seperti kerupuk," ujar Maknun sambil tersenyum. Tiga hari lamanya mereka menunggu air surut dan bisa menyeberangi sungai dan melanjutkan perjalanan.

Setelah sampai di Aek Behan, Tumenggung Bebayang dan anggota kelompoknya tidak ada. Rupanya sungai yang lagi meluap dimanfaatkan Orang Rimba itu untuk menghilirkan manau-rotan dengan ukuran besar.

"Semua anggota keluarganya ikut, ya, sudah saya menyusul mereka ke Lancar Tiang, yang penting bisa berjumpa dengan anak-anak didik saya," ujar Maknun.

Itulah petikan cerita dari seorang guru untuk anak anak orang rimba di Jambi, yang memang dengan ikhlas mengajar dengan penuh tantangan mulai dari keluarga, alam dan juga dari orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD).*

Baca juga: Menyorot kiprah Kodam II/Sriwijaya memberdayakan Suku Anak Dalam

Baca juga: Warga SAD anggota SMB pelaku penganiayaan dihukum empat bulan

Pewarta: Nanang Mairiadi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020