Dengan menekuni aktivitas menenun dengan bahan alami tidak hanya mewarisi budaya leluhur, tetapi juga ikut serta dalam menjaga kelestarian alam di sekitar
Peraih Tunas KEHATI Award 2020 dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI) Margaretha Mala, perempuan muda Suku Dayak Iban asal Provinsi Kalimantan Barat, bertekad melestarikan pembuatan tenun suku dayak yang menggunakan pewarna alami dari tanaman.
"Saya bangga bisa meneruskan budaya leluhur, di mana nenek moyang kami dulu juga menenun kain sendiri dari bahan-bahan tumbuhan yang ada di alam," katanya kepada ANTARA, di Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, Minggu.
Menurut perempuan muda Suku Dayak Iban, Desa Menua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu itu saat ini kaum perempuan di desanya rutin melakukan kerajinan tenun.
Bahkan, bahan tenun rata-rata menggunakan bahan tanaman alami, salah satunya yaitu bahan pewarna alami.
"Memang motif yang kami tenun itu khas Suku Dayak Iban, karena salah satu upaya melestarikan seni budaya leluhur," katanya.
Desa Manua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu merupakan salah satu kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia masuk dalam kawasan penyangga Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kapuas Hulu
Ia mengatakan dengan menekuni aktivitas menenun dengan bahan alami tidak hanya mewarisi budaya leluhur, tetapi juga ikut serta dalam menjaga kelestarian alam di sekitar.
"Karena bahan yang digunakan sebagai pewarna dari tumbuhan alam, maka tumbuhan tersebut juga kita tanam kembali," katanya.
Dikemukakannya bahwa nenek moyang mereka dulu hidup menyatu dengan alam, menjaga dan melestarikan alam.
"Sehingga masih kita rasakan manfaatnya sampai saat ini, saya juga ingin mengajak generasi muda mewarisi apa yang telah menjadi kenangan pendahulu kita, agar anak cucu kita nanti tidak hanya mendengar cerita, namun mereka juga ikut menjaga dan melestarikan budaya adat istiadat serta melindungi hutan," katanya.
Karena itulah, ia bertekad akan terus mengembangkan kerajinan tangan perempuan Suku Dayak Iban dan menanamkannya kepada generasi muda.
Pada bagian lain, ia menceritakan bahwa menenun awalnya hanya sekadar hobi untuk meneruskan budaya nenek moyang.
"Namun ternyata memiliki manfaat untuk mendongkrak perekonomian masyarakat, apalagi di masa pandemi COVID-19 seperti ini," katanya.
Contohnya, kain tenun berbahan tanaman alami khas Suku Dayak Iban Desa Manua Sadap itu dibeli Ketua Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami) Myra Widiono di Jakarta dengan harga Rp13.400 juta.
"Hasil kain tenun itu saya dihargai senilai Rp13,400 juta," demikian Margaretha Mala.
Baca juga: Margaretha Mala asal Kapuas Hulu raih Penghargaan Tunas Kehati 2020
Baca juga: Tenun Dayak Iban Yurita gunakan pewarna alami
Baca juga: Kehati anugerahkan KEHATI Award 2020 untuk pejuang pelestarian hayati
"Saya bangga bisa meneruskan budaya leluhur, di mana nenek moyang kami dulu juga menenun kain sendiri dari bahan-bahan tumbuhan yang ada di alam," katanya kepada ANTARA, di Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, Minggu.
Menurut perempuan muda Suku Dayak Iban, Desa Menua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu itu saat ini kaum perempuan di desanya rutin melakukan kerajinan tenun.
Bahkan, bahan tenun rata-rata menggunakan bahan tanaman alami, salah satunya yaitu bahan pewarna alami.
"Memang motif yang kami tenun itu khas Suku Dayak Iban, karena salah satu upaya melestarikan seni budaya leluhur," katanya.
Desa Manua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu merupakan salah satu kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia masuk dalam kawasan penyangga Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kapuas Hulu
Ia mengatakan dengan menekuni aktivitas menenun dengan bahan alami tidak hanya mewarisi budaya leluhur, tetapi juga ikut serta dalam menjaga kelestarian alam di sekitar.
"Karena bahan yang digunakan sebagai pewarna dari tumbuhan alam, maka tumbuhan tersebut juga kita tanam kembali," katanya.
Dikemukakannya bahwa nenek moyang mereka dulu hidup menyatu dengan alam, menjaga dan melestarikan alam.
"Sehingga masih kita rasakan manfaatnya sampai saat ini, saya juga ingin mengajak generasi muda mewarisi apa yang telah menjadi kenangan pendahulu kita, agar anak cucu kita nanti tidak hanya mendengar cerita, namun mereka juga ikut menjaga dan melestarikan budaya adat istiadat serta melindungi hutan," katanya.
Karena itulah, ia bertekad akan terus mengembangkan kerajinan tangan perempuan Suku Dayak Iban dan menanamkannya kepada generasi muda.
Pada bagian lain, ia menceritakan bahwa menenun awalnya hanya sekadar hobi untuk meneruskan budaya nenek moyang.
"Namun ternyata memiliki manfaat untuk mendongkrak perekonomian masyarakat, apalagi di masa pandemi COVID-19 seperti ini," katanya.
Contohnya, kain tenun berbahan tanaman alami khas Suku Dayak Iban Desa Manua Sadap itu dibeli Ketua Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami) Myra Widiono di Jakarta dengan harga Rp13.400 juta.
"Hasil kain tenun itu saya dihargai senilai Rp13,400 juta," demikian Margaretha Mala.
Baca juga: Margaretha Mala asal Kapuas Hulu raih Penghargaan Tunas Kehati 2020
Baca juga: Tenun Dayak Iban Yurita gunakan pewarna alami
Baca juga: Kehati anugerahkan KEHATI Award 2020 untuk pejuang pelestarian hayati
Pewarta: Teofilusianto Timotius
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020