• Beranda
  • Berita
  • Kekuatan masyarakat adat hadapi pandemi COVID-19

Kekuatan masyarakat adat hadapi pandemi COVID-19

30 November 2020 08:09 WIB
Kekuatan masyarakat adat hadapi pandemi COVID-19
Masyarakat Adat Lindu yang hidup di sekitar Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (ANTARA/Virna P Setyorini)

Tahun 2020 akan tercatat dalam sejarah manusia sebagai masa yang penuh ketidakpastian. Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) berukuran nanometer yang menyebabkan coronavirus disease 2019 (COVID-19) meruntuhkan hegemoni kapitalisme.

Manusia sunyi sesaat di tengah kunci sementara (kuncitara) atau lockdown yang dilakukan banyak negara untuk menyetop penularan virus corona tipe baru yang dipercaya menyebar pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019.

Kelompok prolingkungan menyambut suka cita karena sejenak dapat merasakan udara menjadi lebih bersih dari polusi di tengah "hibernasi".

Peneliti dengan segala keingintahuannya mencoba menguliti virus corona baru tersebut yang diyakini merupakan zoonosis. Masyarakat yang awam perihal penyakit yang datang dari binatang dan ditularkan kepada manusia tersebut, menjadi terperangah dan menyadari betapa mereka telah mengangkangi pembatas alam yang memisahkan dunia manusia dan satwa liar.

Hutan merupakan pembatas alam antara manusia dan satwa liar di terestrial. Sadar maupun tidak, aktivitas kapitalis telah banyak menghilangkan pembatas itu, lalu menempatkan manusia pada posisi rentan terhadap penyakit dan bencana hidrometeorologi yang disebabkan krisis iklim di Bumi.

Namun di tengah keresahan akan ketidakpastian yang dirasakan oleh penghuni Bumi di masa pandemi COVID-19, ternyata masyarakat adat dengan segala pengetahuannya, kearifannya, nilai-nilai dan budayanya, serta praktik-praktik baiknya menjadi kelompok yang sekali lagi membuktikan memiliki kelentingan tinggi menghadapi ketidakpastian itu.

Kelentingan dan adaptif
​​​​​
Dalam dialog umum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke VI yang dilakukan secara daring pada Senin (16/11), Julianus, salah seorang masyarakat adat dari Suku Dayak di Kalimantan menceritakan bagaimana mereka mengamankan diri di pondok atau di dalam hutan agar tidak tertular virus, dengan maksud meringankan beban aparatur negara dan para medis yang hingga saat ini masih berjuang menekan angka ketertularan COVID-19 di Indonesia.

"Bagi kami, tinggal di rumah saja itu tidak cukup. Dan kami mengamankan diri ke pondok atau ke hutan, karena kami sudah terbiasa. Karena di sana kami tidak perlu ke pasar, karena untuk makan tidak masalah bagi kami karena kami sudah terbiasa berladang dan kami punya padi yang banyak, sehingga empat atau lima bulan sampai satu tahun pun seandainya social distancing atau lockdown kami masih bisa makan karena bisa irit tumbuk padi terjadi lah beras," kata Julianus.

Mereka juga tidak perlu pergi ke pasar untuk mendapatkan sayur karena mereka menanam sendiri di ladang, atau cukup pergi ke hutan yang di dalamnya ada sungai yang bersih untuk mengambil sayur mayur dan lauk pauk yang dibutuhkan untuk dimasak. Mereka juga tidak membeli rempah-rempah di pasar karena semua sudah tersedia di dalam hutan.

Di saat seperti ini, baru lah orang tersadar betapa pentingnya menyayangi hutan. Julianus mengajak semua pihak untuk memiliki kesadaran untuk menyayangi lingkungan dan hutan, menjalankan apa yang sudah disarankan dan amanahkan pemerintah hingga Organisasi Kesehatan Dunia, dan menjalankan petunjuk pemerintah daerah, aparat keamanan serta pihak kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.

"Di tengah situasi seperti ini, di tengah krisis global yang sedang terjadi, karena pada dasarnya di saat ini kita harus mementingkan keselamatan bersama, keselamatan dari satu-satunya rumah kita bersama yaitu Planet Bumi, dan keselamatan hidup di muka Bumi dan di bawah muka Bumi," ujar Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi.
 

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi (kanan) memegang salah satu menu masakan khas Tana Toraja. (ANTARA/Virna P Setyorini)


Sejak Maret 2020 seluruh masyarakat adat anggota AMAN dari 2.359 komunitas adat di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 17 juta individu melakukan kuncitara sambil mengerjakan banyak hal. Langkah itu penting karena menjadi kontribusi utama masyarakat adat di tengah pandemi.

Pintu keluar masuk wilayah masyarakat adat dijaga ketat, sehingga aktivitas di dalam kampung tetap berjalan normal tanpa khawatir terjadi penularan penyakit dari luar. Bertani dan berladang dilakukan dengan perhitungan yang ketat, agar proses tanam dan panen dapat terencana dengan baik dan menghasilkan pangan berlimpah di masa pandemi.

AMAN meminta seluruh anggotanya untuk turut berkontribusi mencukupi seluruh kebutuhan pangan masyarakat di masa pandemi saat ini.

"Bagaimana masyarakat adat langsung melihat kiri kanan, bagaimana tetangga, apakah mereka kekurangan. Kalau semua yang di kampung cukup, kita melihat ke tetangga kampung, apakah sudah cukup makanannya. Bahkan kita melihat sampai ke kota-kota," ujar Rukka.

Pada tingkat nasional di masa pandemi ini, AMAN bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menjangkau perkotaan, bekerja sama memastikan kaum buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan jam kerja tidak kelaparan dengan menyalurkan hasil panen dari wilayah masyarakat adat.

"Modal solidaritas di Tanah Air belum hilang. Dan kita patut berbangga semangat itu masih ada. Rasa senasib sepenanggungan itu masih ada," ujar Rukka sambil menjelaskan betapa kemandirian pangan masyarakat adat begitu kuat. 

Perempuan adat

Peran perempuan dan pemuda adat begitu besar dalam masa pandemi COVID-19, bahkan menjadi tulang punggung di masyarakat adat, kata Rukka. Ada gerakan pulang kampung dilakukan secara mandiri oleh anak muda dalam 10 tahun terakhir, mereka membuka sekolah adat, bertani, beternak, dan menjadi penggerak di kampung-kampung.

Jelas peran perempuan dan pemuda adat sangat penting, karenanya AMAN sejak lama fokus mendirikan organisasi sayap untuk mereka. Lantas mereka menguatkan organisasi sendiri dan terbukti di masa pandemi COVID-19 keberadaannya sangat bermanfaat.

Dengan kekuatan itu AMAN sedang membangun kedaulatan pangan di tengah derasnya impor pangan di tingkat nasional. Sayangnya potensi pangan asli berdasarkan produksi petani, masyarakat adat, nelayan di Indonesia belum dihitung secara benar, menurut Rukka.

"Jangan-jangan ketika pemerintah memberi kepercayaan pada kita, sebenarnya kita mampu menyuplai kebutuhan domestik kita," ujar dia.

Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini mengatakan krisis kesehatan global yang berdampak ke berbagai aspek kehidupan saat ini menjadi tantangan kepemimpinan perempuan adat sekaligus kesempatan bagi mereka melakukan transformasi organisasinya. Dengan anggotanya yang mencapai 2.386 orang dengan 55 wilayah pengorganisasian di seluruh Indonesia, PEREMPUAN AMAN menjadi pondasi kuat dalam gerakan masyarakat adat.
 

Mama dari Masyarakat Adat Moi Kelim sedang menganyam tas dari kulit kayu di Malaumkarta, Sorong, Papua Barat. (ANTARA/Virna P Setyorini)


Pengetahuan menjadi salah satu identitas yang membangun perempuan adat. Itu kekuatan sosial utama yang mereka miliki di kampung-kampung berbarengan dengan otoritas yang diberikan untuk memilih benih, kapan proses menanam dimulai, bagaimana cara menanam, dan "arisan" tenaga untuk menghasilkan sumber pangan berlimpah yang semua aturannya memang masih sangat informal.

Adanya wilayah kelola perempuan adat menjadi identitas perempuan adat di dalam wilayah adat yang keberadaan dan kepemilikannya secara fisik tentu ada pada ruang komunal yang sama yang dimiliki pemuda, orang tua, disabilitas dan anggota masyarakat adat lainnya.

Devi membagi kondisi perempuan adat dalam tiga tipe di masa pandemi, yang pertama, pada wilayah urban dan yang sudah didominasi oleh konsesi biasanya kehidupan perempuan adat dipengaruhi uang tunai, kebutuhan hidupnya semua mendapat dukungan dari luar, sehingga kebijakan kuncitara yang AMAN lakukan menjadi sangat sulit dihadapi.

PHK terjadi pada kelompok-kelompok itu, kekerasan domestik dan kriminal terus meningkat, persepsi kemiskinan pada wilayah itu sebetulnya sangat besar karena mengandalkan pihak luar.

Pada tipe kedua dapat dilihat pada kondisi perempuan adat di wilayah Paser, Kalimantan Timur, yang sebagian besar wilayahnya sudah didominasi perkebunan kelapa sawit, namun beruntung masih memiliki lahan terbatas untuk memproduksi sumber pangan sendiri.

Pada masa pandemi COVID-19 kebutuhan uang tunai terus meningkat, individualisme terjadi, kuncitara terjadi tapi mereka juga tidak bisa menghentikan aktivitas konsesi di tempat mereka sehingga menjadi tantangan berat.

Namun memang dalam masa pandemi ini aktivitas berladang mereka kembali aktif dengan mencari sumber pangan ke dalam hutan, lebih jauh dari seharusnya. Sehingga akhirnya mereka merasa penting mengusulkan pembentukan Hutan Adat, yang pertama berada di area mangrove di pesisir dan yang kedua berada di wilayah pegunungan, yang sebetulnya juga merupakan proses mereka ingin menyelamatkan hutannya mengingat Ibu Kota Negara akan pindah ke Kalimantan Timur.

Tipe ketiga di mana kehidupan masyarakat semi subsistem yang sangat sedikit sekali mengandalkan pihak luar, contoh masyarakat adat di Rendu yang wilayahnya akan ditenggelamkan untuk Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur.

Ketersediaan pangan dan kebutuhan hidupnya dipenuhi di wilayahnya sendiri, mereka ke kota hanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan, pendidikan, bersenang-senang dan berbelanja sesuatu yang memang mereka tidak produksi sendiri.
 

Mama Meli Kalami (kiri) dari Masyarakat Adat Moi Kelim sedang menyiapkan sagu di hutan adat Malaumkarta, Sorong, Papua Barat. (ANTARA/Virna P Setyorini)


Ketiga tipe tersebut di masa pandemi ini sedang bersama-sama merevitalisasi kembali kemampuan dan pengetahuan mereka dalam mengawetkan makanan, bagaimana menyimpan stok pangan dan seterusnya. Mereka merasa penting melakukan itu agar dapat membantu mereka sendiri, kawan-kawan mereka, keluarga mereka, komunitas lain yang membutuhkan, membantu masyarakat kota dan wilayah lain yang membutuhkan.

Proses merevitalisasi kemampuan dan pengetahuan diri perempuan adat yang semakin meluas itu akhirnya, menurut Devi, memperkuat pengetahuan dan kesadaran politik mereka, bahwa sangat tidak mungkin mereka dapat hidup tanpa tanah atau wilayah adatnya.

Publikasi PEREMPUAN AMAN yang mengolah data milik pemerintah menunjukkan perempuan adat mampu memberi makan 31 juta jiwa di masa pandemi ini. "Jadi coba bayangkan betapa besarnya kontribusi perempuan adat," kata Devi.

"Dan survei terbaru yang kami keluarkan Oktober 2020 menunjukkan pengetahuan masyarakat adat itu sumber pengetahuan yang tinggi yang dipraktikkan dengan kepercayaan diri penuh perempuan adat. Dan wilayah adat jadi sumber utama penghasilan atau pekerjaan atau mata pencaharian mereka. Saya gunakan banyak pilihan kata karena sering kali kita tidak masuk data sensus pemerintah karena mengukur kita selalu dengan indikator uang tunai. Kita ingin katakan tidak begitu cara melihatnya," ujar dia menjelaskan hasil survei dari 22 komunitas adat lebih dari 500 responden.

Ia menegaskan jika ingin mewujudkan kedaulatan pangan dan mengakhiri impor pangan maka hal pertama yang perlu dilakukan hanya menghentikan perampasan tanah adat. Karena sesungguhnya di sana lah wilayah kelola perempuan adat yang mampu menyuplai pangan lokal bagi seluruh masyarakat Indonesia berada.

Valuasi ekonomi

AMAN juga sudah melakukan kajian ekonomi di enam wilayah masyarakat adat di Indonesia untuk “melawan” narasi bahwa produk ekonomi hanya untuk investasi besar saja. Sementara wilayah adat mereka selalu diidentikkan tidak produktif dan bernilai rendah.

Valuasi ekonomi dilakukan di Komunitas Masyarakat Adat (KMA) Karang di Lebak, Banten, lalu KMA Kajang di Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, KMA Kaluppi di Enrekang, Sulawesi Selatan, KMA Seberuang di Sintang, Kalimantan Barat, KMA Saureinu di Mentawai, Sumatera Barat dan KMA Moi Kelim di Sorong, Papua Barat pada 2018. Lokasi-lokasi itu merupakan wilayah masyarakat yang alamnya masih dalam kondisi terjaga baik.

Hasil kajian tersebut menunjukkan nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat ada pada rentang terendah Rp28,92 miliar per tahun di KMA Kajang sampai dengan yang tertinggi mencapai Rp41,23 miliar per tahun di KMA MOI Kelim. Secara total, enam wilayah adat tersebut mampu menghasilkan Rp159.21 miliar per tahun.
 

Bungkusan Ulat Sagu dalam Festival Pesta Ulat Sagu di Kampung Uni, Distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Papua. (ANTARA/Virna P Setyorini)


Valuasi ekonomi menggunakan pendekatan produktivitas, Contingent Valuation Methods (CVM), Travel Cost Methods (TCM) dan Benefit Transfer Methods (BTM) yang dilakukan AMAN bersama Direktur Eksekutif Pusat Studi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Padjadjaran Zuzy Anna di KMA Moi Kelim di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, menunjukkan nilai manfaat langsung sumber daya yang dikonsumsi masyarakat di sana sebesar Rp7,89 miliar per tahun. Sendangkan nilai manfaat tidak langsungnya dari jasa lingkungan lebih besar lagi mencapai Rp148,43 miliar per tahun.

Masih ada perhitungan nilai non manfaat dari budaya dan kearifan lokal masyarakat adat di sana, lalu total nilai ekonomi untuk manfaat dan non manfaat lanskap di Malaumkarta. Sedangkan khusus untuk nilai ekonomi manfaat langsung yang dikonsumsi secara langsung, menurut Zuzy, mencapai Rp41,23 juta atau Rp3,43 juta per kapita per bulan.

Jika dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sorong tanpa menyertakan migas mencapai Rp2,82 juta per kapita per bulan maka nilai ekonomi langsung Masyarakat Adat Moi Kelim jauh lebih besar. Begitu pula jika dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) Papua Barat 2018 yang mencapai Rp2,67 juta per bulan.

Tantangan dan kekuatan

Peneliti senior Sajogyo Institute Eko Cahyono mengatakan saat ini mungkin bukan masa di mana masyarakat adat harus mereposisi keberadaannya, tapi justru mereaktualisasi diri untuk meneguhkan keberadaannya di tengah ketidakpastian kondisi global, mulai dari krisis iklim, pandemi COVID-19, hingga resesi dan krisis ekonomi.

Situasi saat ini, memang menunjukkan perlu adanya evaluasi dan refleksi menyeluruh bangun susun sistem global. Perlu alternatif dari arah pembangunan yang dulu dianggap bisa menyejahterakan dan memajukan rakyat yang ternyata tidak terbukti keampuhannya.

Karena itu, perlu kebijakan dan tindakan berbasis risiko menghadapi situasi yang tidak pasti seperti saat ini, sehingga apapun yang dilakukan perlu memikirkan risikonya. Lalu perlu juga strategi bertahan hidup yang jitu karena ketidakpastian yang tinggi dan belum pernah dihadapi tadi.

"Refleksi saya siapa yang bisa melalui kondisi ketidakpastian ini jawabannya menurut saya masyarakat adat. Enggak mungkin mengajari survival ke masyarakat adat karena hidupnya harmoni dan hidup di tengah situasi alam yang sudah bersahabat dengan dirinya," ujar dia.

Dalam kontestasi diskursus paradigmatik pembangunan global yang sedang terjadi saat ini, tarik menarik antara pembangunan berorientasi ekonomi dengan biosentrik terjadi. Maka ekonomi yang berwatak antroposentris dan menempatkan manusia di puncak piramida dan memakai kaca mata monodisipliner dengan orientasi kapitalisme dan neoliberalisme menempatkan alam sebagai barang dagangan saja, kemudian diantitesis oleh biosentrik yang intinya pembangunan dilakukan berbasis biotic community atau flora dan fauna, namun sebenarnya merupakan praktik ekologi dangkal dan bisa menciptakan fasisme ekologi.

Mereka yang berorientasi biosentrik, menurut Eko, akan membahasakannya proyek pembangunan dengan istilah-istilah pembangunan hijau, ekonomi hijau, tetapi apakah otomatis itu adil untuk masyarakat adat juga tidak diketahui.
 

Hutan dan sungai yang terjaga di Malaumkarta, Sorong, Papua Barat. (ANTARA/Virna P Setyorini)


Ada pendekatan lain yakni ekosistem yang menggunakan pendekatan transdisipliner dengan perspektif holistik, sehingga akhirnya ilmu itu diabdikan sebagai solusi dan sering disebut sustainability science oleh orang-orang sekolahan, kata Eko. Yang sebenarnya karakter utamanya merupakan living knowledge masyarakat adat dan sudah dipraktikan dalam kesehariannya.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan sejak kongres pertama AMAN di 1999 sudah membahas soal diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan di berbagai daerah akibat industri ekstraktif. Semua itu berkaitan dengan hak atas tanah, dan lebih dari itu berkaitan pula dengan identitas, hak masyarakat, baik hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Jika mengingat lagi di tahun-tahun itu gerakan masyarakat adat sempat berkelindan dengan gerakan lingkungan hidup yang kondisinya juga mengalami pergeseran di tahun 1990-an, setelah menyadari konservasi tidak lah cukup jika pada kenyataannya kerusakan lingkungan lebih cepat terjadi dari kemampuan merawatnya.

Sejak saat itu pergerakan bergeser ke ketidakadilan struktrural, Hak Asasi Manusia (HAM), dan tentu juga gerakan indigenous people di tingkat internasional.

"Dari sejarah ini yang saya mau bilang bahwa karakter dasar dari gerakan masyarakat adat ini adalah perlawanan dari ketidakadilan dan kerusakan ekologis. Jadi berbeda dengan dugaan atau sikap sinis dari sebagian orang bahwa ini adalah gerakan untuk kembali ke masa lalu. Bukan. Tetapi gerakan untuk melawan ketidakadilan," kata Hilmar.

Bahwa ada yang bisa dipelajari dari kearifan lokal, tradisi turun temurun itu sudah pasti, dan sekarang justru semakin relevan. Tetapi nafas dan karakter dasarnya adalah melawan ketidakadilan.
 

Mesin pembangkit listrik mikrohidro milik Masyarakat Adat Moi Kelim di Malaumkarta, Sorong, Papua Barat. (ANTARA/Virna P Setyorini)


Karakter progresif dari gerakan masyarakat adat harus terus diangkat dan ditonjolkan lebih dari yang sudah diangkat sekarang ini. Karena gerakan masyarakat adat ini, menurut hemat dia, berada di garis terdepan dalam memberi solusi kepada kondisi yang sedang dihadapi, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia.

"Ini sesuatu yang konkret," tegas Hilmar.

Pesan yang telah disampaikan Julianus sangat kuat karena pandemi COVID-19 saat ini memperlihatkan kelemahan mendasar dalam sistem global.

Korporasi besar yang konon menjadi mesin pertumbuhan sekarang masuk krisis tidak sampai setahun, sudah minta ampun tidak sanggup bayar utang, tidak sanggup bayar pegawai, pemecatan di mana-mana, lalu uang triliunan rupiah yang dikumpulkan selama ini entah di mana.

"Pertanyaannya apakah sistem yang berlaku sekarang ini bisa bertahan? Kalau tidak, apa alternatifnya? Dan Kakak Rukka sudah menyinggung beberapa ide penting, utamakan produksi lokal, utamakan keselamatan, fokus pada pangan, dan segala macam produk yang bisa membawa masyarakat keluar dari krisis ini," ujar Hilmar.

Sudah banyak penelitian yang mengatakan zoonosis erat kaitannya dengan pertanian global, peternakan raksasa yang meninggalkan bekas-bekas dan akhirnya menyisakan virus yang luar biasa berbahaya.

Penduduk Bumi juga baru mengalami gelombang panas di seluruh dunia, banjir, badai di berbagai belahan Bumi lain termasuk di Indonesia, sehingga saat ini sangat tepat untuk secara masif mengingatkan lagi pentingnya hutan, laut, danau, sungai dan ekosistem yang ada.

Peran masyarakat adat tidak terbantahkan karena tidak ada yang lebih peduli akan semua itu dari pada mereka. Mereka sudah konkret hadir untuk merawat itu semua. Maka tidak cukup hanya menyatakan sikap, masyarakat adat tetap perlu menonjolkan secara riil keberadaannya untuk keselamatan semua.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020