Puji Santoso, petani asal Desa Sinar Napalan, Kabupaten OKU Selatan, yang dihubungi dari Palembang, Selasa, mengatakan, kondisi ini cukup memberatkan mengingat produtivitas lahannya juga kian berkurang.
“Satu Ha kurang dari 1 ton, jadi dalam satu tahun hanya dapat Rp17 juta. Jika dibagikan tiap bulan hanya 1,4 juta, ini belum pula dikurangi biaya produksi. Saya masih bisa bertahan karena memiliki 2 hektare lahan,” kata Puji.
Ia mengatakan harga tersebut dipatok oleh tengkulak di kampungnya, yang nantinya menjual biji kopi ke pengepul yang ada di Lampung. Menurut Puji, rantai perdagangan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun lantaran Kabupaten OKU Selatan jauh lebih dekat ke Lampung jika dibandingkan ke Palembang.
Kondisi ini membuat pintu perdagangan kopi asal OKUS berada di Lampung. Sementara itu, rendahnya harga biji kopi ini juga dikeluhkan Hartama, petani lain di desa tersebut yang merupakan pengurus di Kelompok Tani Napalan Makmur.
“Harga kopi ini sulit naiknya, bertahan di Rp17.000/Kg, bahkan tahun lalu juga begitu. Ya, bagaimana lagi dari tengkulak sudah begitu,” Hartama.
Dirinya tidak mengerti mengapa biji kopi produksi daerahnya sulit untuk dinaikkan harganya, sementara kopi asal Pagaralam, Sumatera Selatan, bisa tembus Rp18.000—Rp19.000/Kg.
Lantaran harga yang rendah itu dan ditambah lagi produktivitas lahan yang semakin menurun, pada umumnya membuat petani di desa tersebut juga menggarap komoditas lain seperti cabai, lada, kakao, sawit, karet dan sayuran.
“Capek sekali jadi petani ini, garap semua lahan karena pendapatan kurang untuk kebutuhan sehari-hari. Sudah tanam kopi, saya juga terpaksa tanam cabai dan karet supaya anak-anak bisa sekolah tinggi,” kata dia.
Menurut dia, harga kopi sulit untuk tinggi karena sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan tengkulak, yang sebagian besar berasal dari Lampung.
"Kami harus ikut tengkulak, mereka yang menetapkan sendiri karena obat semprot, pupuk, hingga kebutuhan kami sehari-hari seperti beras, gula, lainnya, ya dari tengkulak," kata dia.
Petani kopi di OKU Selatan ini kemudian mempertanyakan hal ini ke tengkulak yakni mengapa harga tak bisa naik, padahal minuman kopi sedang booming" di Indonesia. "Tidak ada jawaban dari tengkulak, tetap saja begitu," kata Hartama.
Sementara itu, Ketua Dewan Kopi Sumsel M Zain Ismed mengatakan harga kopi yang rendah itu tak lepas dari beragam persoalan di sisi hulu.
Hingga kini, sebagian besar petani kopi asal Sumsel masih melakukan proses setelah panen yang tidak sesuai standar seperti petik ‘pelangi’ atau bukan petik merah hingga menjemur di tanah atau jalan beraspal.
Kondisi ini membuat harga kopi Sumsel dibanderol dengan harga rendah. Padahal jika melakukan standar pasca panen yang higienis maka bisa menyasar pasar premium yang harga biji kopinya Rp34.000/Kg.
“Ini yang terus disosialisasikan ke petani, mengajak mereka untuk berubah agar kopi asal Sumsel ini bisa naik kelas. Tidak dicap sebagai kopi asalan, karena dari segi rasa sesungguhnya menjadi yang terbaik di Tanah Air,” kata dia.
Selain itu, persoalan di sisi hulu yakni produktivitas petani kopi Sumatera Selatan masih rendah jika dibandingkan daerah lain karena rata-rata per tahun hanya 0,6-0,9 ton per hektare.
Dengan produktivitas yang rendah tersebut maka petani kopi hanya meraup rata-rata pendapatan Rp900.000/bulan.
“Kenapa ini bisa terjadi, Vietnam saja produktivitas petaninya bisa 3-4 ton per hektare per tahunnya. Seharusnya ini menjadi perhatian semua pihak,” kata dia.
Menurutnya, salah satu penyebabnya karena dari total 263 ribu hektare perkebunan kopi di Sumsel diketahui sudah banyak yang tua. Kebun-kebun kopi ini seharusnya diremajakan agar produktivitasnya meningkat kembali.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020