• Beranda
  • Berita
  • Kopmas ajak masyarakat tidak takut berobat ke rumah sakit

Kopmas ajak masyarakat tidak takut berobat ke rumah sakit

1 Desember 2020 20:54 WIB
Kopmas ajak masyarakat tidak takut berobat ke rumah sakit
Ketua Umum PB IDI, Dr Daeng Mohammad Faqih. ANTARA/ Indriani

Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) mengajak masyarakat untuk tidak takut berobat ke rumah sakit di tengah pandemi COVID-19.

“Masyarakat hendaknya berdamai dengan pandemi dan kita perlu ikuti aturan tambahan yang ada di rumah sakit. Kami minta masyarakat tidak takut berobat ke rumah sakit,” ujar Ketua Bidang Advokasi Kopmas, Yuli Supriati, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Pada saat pandemi terdapat beberapa aturan tambahan dalam pelayanan di rumah sakit yaitu adanya surat persetujuan yang harus ditandatangani seperti apabila pasien terindikasi COVID-19 meninggal maka pemusalaran jenazah akan dilakukan dengan protokol COVID-19.

Selain itu, ketika pandemi ruangan UGD di rumah sakit ditambah ruangan khusus atau isolasi untuk pasien.

Baca juga: Peningkatan kasus COVID-19 dorong penularan lebih besar

Yuli pun menegaskan kembali, untuk tidak takut berobat ke rumah sakit apalagi ketika keadaan sedang mendesak.

“Memang saya temukan, beberapa rumah sakit rujukan khususnya, protapnya memang seperti itu. Jadi ketika pasien tersebut masuk, lalu di-screening, dan kemudian diperiksa ulang, lalu keluarganya dipanggil untuk menandatangani surat bahwa jika pasien memiliki keadaan yang buruk dalam jangka waktu 14 hari dan meninggal, maka pasien tersebut dianggap COVID-19,” jelas Yuli.

Yuli menambahkan bahwa semua pihak harus mencari solusi dan mempertemukan bagaimana protap yang sudah diatur oleh Kemenkes, khususnya di nomor 413 dan 446 tahun 2020 agar masyarakat juga tugas kesehatan tidak merasa khawatir akan isu itu.

Ketua Umum PB IDI, Dr Daeng Mohammad Faqih, mengatakan bahwa terdapat prosedur yang dikeluarkan oleh Kemenkes yang menyatakan bahwa terdapat dua cara mendiagnosis COVID-19.

“Di dunia medis, diagnosis pada penyakit itu, ada yang namanya diagnosis klinis, ada yang diagnosis laboratorium,” sebut Daeng.

Baca juga: Satgas: Zona merah bertambah dua kali lipat, zona hijau menipis

Daeng menjelaskan diagnosis klinis dilakukan jika gejala-gejala yang ditimbulkan mendukung ke arah penyakit tersebut. Sedangkan diagnosis laboratorium adalah diagnosis berdasarkan hasil laboratorium.

“Jadi, menurut protap universal atau yang dianut seluruh dunia, kalau secara gejala positif kemudian PCRnya belum ada, ini sudah termasuk kategori positif COVID-19. Jika meninggal karena COVID-19, maka harus diurus sesuai protokol COVID-19,” jelas Daeng.

Hal ini yang membuat isu rumah sakit “meng-COVID-kan” pasien itu mencuat, padahal, menurut Daeng tidak. Apa yang dilakukan pada pasien adalah, sudah dirawat dengan gejala-gejala yang ada yang merujuk prosedur COVID-19 meskipun hasil lab belum keluar.

Kasubdit Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Dr Nani Widodo, mengatakan rumah sakit selalu berupaya agar pasien tidak tertular COVID-19.

“Rumah sakit juga selalu berupaya untuk mencari cara agar pasien, petugas Kesehatan, tidak saling menularkan COVID-19,” kata Nani.

Baca juga: Satgas: Penambahan kasus COVID-19 karena masyarakat tak disiplin

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020