Menurut Guru Besar Universitas Sriwijaya (Unsri) itu, Selasa (1/12), jika pendekatan lunak (soft) gagal, KY bisa saja melaksanakan kewenangan penyadapan yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
"Kalau memang upaya soft itu kami tidak berhasil melakukan, mungkin dengan menggunakan lembaga-lembaga lain. Karena Undang-Undang memberikan ruang untuk itu, bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Termasuk, misalnya, melakukan penyadapan misalnya. Ini kan upaya setelah upaya-upaya soft itu, menurut saya, tidak berhasil kami dapatkan," kata Amzulian di Senayan, Jakarta.
Baca juga: Ini motivasi serta visi guru besar UMY menjadi anggota KY
Pasal 20 ayat 3 UU Komisi Yudisial memang menyebutkan bahwa : Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf a yang menyebutkan Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
Pada pasal 20 ayat 4 pun menegaskan bahwa : Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 3.
Kendati demikian, Amzulian memilih untuk lebih mengedepankan pendekatan lunak seperti dengan penyampaian teguran kepada hakim melalui keluarga mereka agar meningkatkan kinerja para hakim serta menjaga kehormatan dan perilaku hakim.
"Kalau misalnya anggota keluarga itu, apakah suami, istri, anak, paham betul berapa gaji seorang hakim lah, kalau dia (hakim) tiba-tiba beli rumah misalnya Rp 5 miliar, Rp 7 miliar, mbok diingatken bapak atau ibu, suami atau istri itu. Saya pikir keluarga berperan penting di dalam hal ini," kata Amzulian.
Baca juga: Komisi III DPR pertimbangkan empat aspek uji calon anggota KY
Ketua Ombudsman RI itu menilai, peringatan dari anggota keluarga seperti anak dan suami atau istri, akan sangat berpengaruh bagi kualitas pribadi masing-masing hakim, karena pada dasarnya para hakim dipilih dari orang-orang yang berkualitas baik.
"Tidak sembarang orang bisa menjadi hakim," kata Amzulian menegaskan.
Namun, Amzulian juga berpikir untuk membuat aplikasi pengaduan kode etik hakim, di mana masyarakat tinggal klik pada layar ponselnya ketika menemukan ada perilaku sehari-hari para hakim yang tidak sesuai dengan 10 kode etik.
"Maka dalam pikiran saya, kenapa KY tidak memiliki aplikasi khusus misalnya, yang orang dengan ponselnya saja bisa melaporkan pelanggaran kode etik itu. Memang tidak bisa menghukum (hakim) pada saat itu, tapi paling tidak ketika dicek silang (cross check), ada data yang benar pelapor itu, juga persoalan yang dilaporkan, ini menjadi basis data bagi KY di dalam suatu saat misalnya, kalau diperlukan," kata Amzulian.
Baca juga: Komisi III DPR gelar uji kelayakan calon anggota KY secara terbuka
Ia juga menginginkan adanya tradisi menerbitkan eksaminasi putusan para hakim untuk kalangan praktisi hukum. Tradisi mengeksaminasi putusan itu dinilai dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan hukum di Indonesia dan para pelajar ilmu hukum.
"Eksaminasi putusan ini bukan hanya untuk kepentingan KY tapi juga meningkatkan kemampuan mahasiswa-mahasiswa Ilmu Hukum di Indonesia. Saya yakin di Komisi III DPR RI ini banyak yang berpengalaman di bidang praktik hukum. Bagaimana ketika merekrut sarjana hukum baru ya? Mereka (pelajar) tidak terbiasa membaca putusan-putusan hakim," kata Amzulian.
Baca juga: Presiden serahkan 7 nama calon anggota KY ke DPR
Untuk eksaminasi putusan tersebut, KY bisa mendekati para advokat yang tergabung dalam induk organisasi advokat seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan lain-lain.
"Mereka (praktisi-praktisi hukum) ingin sekali ini diketahui publik, mereka ingin sekali ini dieksaminasi. Saya yakin para advokat di bidang tersebut, dugaan saya, pasti punya pengalaman seperti itu," kata Amzulian.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020