"Kajari yang lakukan restoratif dapat nilai plus karena menolong wong cilik," kata Sunarta di sela-sela acara forum diskusi bertajuk Sinergitas Puspenkum dengan Insan Pers Dalam Penyajian Berita Untuk Meningkatkan Public Trust Kejaksaan RI di Jakarta, Rabu (2/12).
Baca juga: Kejagung: Calon jaksa harus tanamkan nilai integritas
Menurut dia, berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, terdapat sejumlah syarat dalam menerapkan asas keadilan restoratif dalam suatu kasus pidana umum, diantaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun dan serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2,5 juta sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan para pihak yang beperkara bersedia untuk menyelesaikan secara damai kekeluargaan.
Keadilan restoratif merupakan usaha mencapai keadilan untuk kasus-kasus pidana umum ringan serta kasus yang tidak merugikan publik dengan harapan bisa mengurangi jumlah tahanan di penjara yang kini sudah melebihi kapasitas.
Baca juga: Intelijen Kejagung tangkap buronan korupsi pembangunan jembatan
"Sekarang preventif diutamakan. Syaratnya perkara kecil, menyangkut orang kecil, kalau sampai harus ke pengadilan, bisa menambah beban penuhnya penjara," tuturnya.
Sunarta mencatat jumlah kasus pidana umum yang diselesaikan dengan asas keadilan restoratif sejak Perja Nomor 15 Tahun 2020 diundangkan pada 22 Juli 2020 hingga akhir November 2020, mencapai hampir 300 kasus.
Jampidum Kejaksaan Agung pun terus menyosialisasikan asas keadilan restoratif kepada jajarannya.
Para Kajari yang hendak menerapkan asas ini dalam kasus yang ditanganinya selanjutnya harus melapor ke Jampidum terlebih dulu. "Kalau mau restorasi, harus lapor dulu ke Jampidum untuk kontrolnya," kata Sunarta.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2020