"Pedoman pemidanaan Perma Nomor 1/2020 ini tidak memaksa hakim untuk menjatuhkan pidana dengan angka-angka pasti atau rigid. Sebaliknya, pedoman pemidanaan ini sifatnya fleksibel, yakni dengan menggunakan rentang pidana atau range sehingga masih ada ruang bagi diskresi hakim untuk menentukan," ujar Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Suhadi dalam sosialisasi Perma Nomor 1 Tahun 2020 secara daring di Jakarta, Kamis.
Ia menuturkan perma tersebut untuk memastikan hakim yang melalui tahapan sama, konsisten dalam menentukan berat ringannya pidana lantaran sebelumnya terdapat disparitas penjatuhan hukuman untuk tidak pidana korupsi.
Baca juga: MA buat aturan korupsi di atas Rp100 miliar dapat dihukum seumur hidup
Baca juga: KPK sambut baik diterbitkannya Perma 1/2020
Baca juga: Nawawi Pomolango: KPK sedang tuntaskan pedoman penuntutan tipikor
Perma itu disebutnya tidak berkaitan dengan pembuktian terpenuhi tidaknya unsur tindak pidana, walaupun hakim menilai hasil dari pembuktian dari kerugian negara dan tingkat kesalahan.
"Itu memang ada sangkutpautnya dengan materinya, tetapi pada prinsipnya bahwa penentuan berat ringannya pidana ditentukan oleh hakim melalui satu pintu yang sama, yaitu pedoman yang diatur dalam Perma 1/2020," ujar Suhadi.
Perma itu merupakan pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perma mengatur hakim harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan; rentang penjatuhan pidana; keadaan yang memberatkan atau meringankan; penjatuhan pidana serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.
Peraturan itu ditetapkan dengan pertimbangan penjatuhan pidana harus memberikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan serta menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa.
Ketua Mahkamah Agung meneken peraturan tersebut pada 8 Juli 2020 dan resmi diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 24 Juli 2020.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020