"Sesuai arahan dari OJK bahwa dalam rangka menghadapi tahun 2021, BPR harus menyiapkan diri untuk bertransformasi ke digital," kata Ketua Perbarindo Jawa Tengah Dadi Sumarsana pada kegiatan Sosialisasi Digitalisasi Banking BPR di Hotel Lor In Solo, Selasa.
Ia mengatakan dengan digitalisasi tersebut ke depan layanan BPR tidak sebatas antar jemput tetapi juga dilengkapi dengan pelayanan digital. Menurut dia, mengenai digitalisasi sendiri menjadi salah satu program yang diangkat pada kerja sama antara BPR dengan Bank Jateng pada Apex Bank atau bank pelindung.
"BPR di Jawa Tengah sudah tergabung dalam 'Apex Bank' yang ketuanya adalah Bank Jateng. Bank Jateng ini membimbing kami dalam menghadapi teknologi, pengelolaan, dan pengembangan baik likuiditas maupun kreditnya, di antaranya turunan produknya adalah 'digital banking'," katanya.
Ia mengatakan mengenai digitalisasi tersebut sejauh ini asosiasi belum berani untuk menginstruksikannya menjadi kewajiban. Meski demikian, penerapan digitalisasi tidak bisa dianggap remeh karena berhubungan dengan kebutuhan industri dan pelanggannya.
"Kalau tidak begitu maka BPR akan tertinggal atau ditinggalkan," katanya.
Ia mengakui ada beberapa kendala yang masih dihadapi oleh BPR dalam rangka menuju digitalisasi tersebut, di antaranya kesiapan teknologi, sumber daya manusia, dan kemampuan investasi. Oleh karena itu, BPR terus bersinergi untuk bisa menerapkan digitalisasi.
"BPR ini kan industri perbankan yang paling sederhana, tetapi di era sekarang kita harus bersaing dengan siapapun, termasuk bank umum yang memang sudah besar dari sisi sumber daya maupun kompetensinya. Oleh karena itu, harus bergandengan tangan agar BPR bisa mengikuti. Kalau suatu saat BPR bisa membangun IT sendiri ya itu lebih baik," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Perbarindo Soloraya Azis Soleh mengatakan sebetulnya saat ini sebagian BPR sudah mulai menerapkan digitalisasi. Meski demikian, belum semua siap menerapkannya.
"Sebetulnya hampir seluruh BPR mengarah ke sana tetapi tidak keseluruhan. Kalau mau diseragamkan tergantung BPR masing-masing karena investasinya mahal. Meski demikian, rata-rata BPR sudah (digitalisasi), ada yang berkaitan dengan tabungan di pasar pakai tap. Kita datang ke pasar masukkan data, diprint, otomatis tambah, rata-rata BPR sudah ada itu," katanya.
Sementara itu, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Surakarta Eko Yunianto mengatakan digitalisasi di sektor perbankan merupakan sebuah keniscayaan. Menurut dia, BPR harus melakukan transformasi agar nasabah tetap ada.
"Kalau tidak nanti bisa ditinggal karena kebutuhan masyarakat kan terus berkembang, apalagi di kondisi seperti ini. Suka tidak suka harus melakukan transformasi untuk digitalisasi. Kalau target (seluruh BPR melakukan digitalisasi) belum, tetapi paling tidak kami selalu mengimbau kepada BPR untuk bertransformasi, memang ini kan butuh proses seperti penyiapan IT, SDM, investasi, dan ini butuh dana," katanya.
Pewarta: Aris Wasita
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020