"Pekan keempat setelah libur panjang (libur panjang di Oktober 2020) angka kematian juga terus naik. Ini juga yang harus kita waspadai kenapa akhirnya fatalitas (kematian) juga kita temukan bertambah dan kalau kita lihat angkanya, sebelumnya tidak ada yang 900 nih mungkin hanya 700-an, tapi tiba-tiba menempuh 900," kata Dewi dalam dialog virtual "COVID-19 dalam Angka: Belajar dari Pengalaman Libur Panjang", yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Dia menuturkan setelah libur panjang Oktober 2020, pada pekan keempat setelahnya, angka kematian akibat COVID-19 dalam waktu satu pekan mencapai 900 orang, pekan setelahnya juga masih di angka 900.
"Kami pernah ingatkan juga masyarakat Indonesia, sebenarnya memang event awalnya mungkin libur panjang, tapi kan libur panjang itu bukan menjadi sebuah gara-gara ketika ada variabel lain yang bermain," ujarnya.
Variabel lain tersebut, katanya, antara lain peningkatan mobilitas, potensi kerumunan, kapasitas pelayanan kesehatan, dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak serta menghindari kerumunan.
Dewi menuturkan saat libur panjang, terjadi peningkatan mobilitas penduduk. Ketika terjadi peningkatan mobilitas penduduk dan ketika terjadi mobilitas orang bergerak ke satu tempat yang sama dalam satu waktu dan satu ruang maka terjadi potensi kerumunan.
Setelah terjadi potensi kerumunan, variabel selanjutnya terkait kepatuhan terhadap protokol 3M. Ada kondisi di mana 3M juga sulit diterapkan, terutama menjaga jarak ketika kerumunannya juga semakin banyak.
"Jadi ketidakpatuhan kepada 3M akan meningkatkan penularan yang terjadi di sebuah tempat, kan ada beberapa variabel nih. Kalau libur, tapi di rumah aja tidak kemana-mana, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi ketika ada mobilitas, ada kerumunan. ada ketidakpatuhan, maka muncul penularan," tutur Dewi.
Peningkatan penularan menyebabkan terjadi tambahan kasus yang signifikan, sementara kapasitas pelayanan kesehatan terbatas, sehingga berefek pada kecepatan penanganan pasien dan karakteristik pasien tersebut.
Padahal, ujar dia, menjaga jarak dan menghindari kerumunan memberikan perlindungan paling besar, yakni 85 persen, dari penularan COVID-19. Sementara menggunakan masker hanya memberikan perlindungan sebesar 70 persen.
Menurut Dewi, setelah terjadi peningkatan potensi penularan, yang terjadi selanjutnya adalah tambahan jumlah pasien yang sangat signifikan.
"Jumlah orang yang sakit karena momennya sama nih, mungkin kalau liburan yang berbeda-beda, ya tidak akan ketemu orang-orang dalam waktu yang cukup singkat orangnya banyak, tapi karena banyak juga orang yang ke lapangan, mungkin pergi ke tempat wisata, terjadi peningkatan penularan dan terjadi penambahan kasus, tinggi sekali jumlahnya. Apa dampaknya ketika kasus ini tiba-tiba melonjak orang yang positif ini banyak maka berpengaruh kepada kapasitas pelayanan kesehatan," tuturnya.
Ketika lonjakan kasus terjadi, katanya, maka yang dikhawatirkan adalah kapasitas pelayanan kesehatan menjadi terbatas, termasuk ketersediaan tempat tidur untuk merawat pasien COVID-19, dan sumber daya manusia atau tenaga kesehatan menjadi kewalahan.
"Ketika berbicara tadi, jumlah kasusnya bertambah, kenapa akhirnya ada pengaruh juga kepada fatalitas? Fatalitasnya akan bergantung dari kapasitas pelayanan kesehatan dan yang kedua akan berpengaruh dari karakteristik orang tersebut juga pasien yang terinfeksi," ujar Dewi.
Menurut dia, fatalitas atau kematian juga dipengaruhi faktor risiko usia, faktor risiko jumlah komorbid, faktor risiko jenis komorbid dan kecepatan penanganan.
"Seberapa cepat dia dibawa ke rumah sakit, ini juga akan berpengaruh," tutur Dewi.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020