Pemerintah mengupayakan ada kompensasi atas dugaan pemberian suap korporasi multinasional Airbus SE kepada pejabat berwenang di berbagai negara terkait kasus pengadaan pesawat dan mesin pesawat, termasuk di Indonesia.Indonesia berpandangan bahwa solusi yang ditempuh melalui mekanisme DPA harus memperhatikan kepentingan dan hak masyarakat negara korban.
Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Tudiono dalam pernyataan di Jakarta, Rabu, menyatakan telah melayangkan surat kepada Badan Penanganan Kasus Penipuan Berat Inggris (SFO) terkait hak kompensasi dari Airbus.
Surat tersebut dikirim pemerintah setelah ada penandatanganan perjanjian Deferred Prosecution Agreement (DPA) antara Airbus SE dengan Departemen Kehakiman Amerika.
Baca juga: KPK menahan Hadinoto Soedigno
Berdasarkan perjanjian DPA, SFO bersedia menunda proses penuntutan pidana terhadap Airbus SE. Syaratnya, Airbus SE bersedia bekerja sama penuh dengan penegak hukum dengan mengakui perbuatan, melakukan program reformasi dan tata kelola perusahaan, serta membayar denda.
"Indonesia berpandangan bahwa solusi yang ditempuh melalui mekanisme DPA harus memperhatikan kepentingan dan hak masyarakat negara korban," kata Tudiono, di sela-sela Konferensi United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Dari perjanjian ini, otoritas Inggris akan menerima denda 992 miliar euro dari total kesepakatan global sebesar 3,6 miliar euro yang akan dibayarkan Airbus SE. Selain Inggris, Airbus SE juga akan membayar denda kepada otoritas Amerika Serikat sebesar 525 juta euro dan otoritas Prancis 2,08 miliar euro.
Baca juga: Garuda tunda kedatangan pesawat Airbus dan Boeing tahun ini
Kesepakatan DPA adalah hasil penyidikan yang dilakukan SFO terhadap dugaan pemberian suap yang dilakukan oleh Airbus SE kepada pejabat berwenang yang ada di lima yurisdiksi, yaitu Indonesia, Sri Lanka, Malaysia, Taiwan, dan Ghana pada kurun waktu 2011-2015.
Penyelidikan SFO telah dilakukan selama empat tahun sejak 2016 atas tuduhan konsultan eksternal yang digunakan oleh Airbus SE telah membayar suap di lima negara tersebut.
Namun, lima negara yang menjadi korban kasus suap, termasuk Indonesia, belum menerima kejelasan terkait kompensasi atas kerugian yang diderita. Padahal, Indonesia turut membantu dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh SFO.
Baca juga: Ribuan pekerja Airbus di Spanyol memprotes rencana PHK
Dalam dokumen Approved Judgement dan Statement of Facts yang merupakan bagian dari DPA, juga terdapat uraian fakta terkait dugaan pemberian suap Airbus SE kepada pejabat perusahaan maskapai, PT Garuda Indonesia Tbk.
Menurut Tudiono, suap yang dilakukan oleh pejabat publik asing merupakan perbuatan korupsi yang telah menyebabkan efek serius dan merugikan bagi negara-negara yang terkena dampak.
Pemerintah, lanjut dia, tidak bisa mengambil keputusan bijak terkait pengadaan publik karena adanya kasus ini. Korupsi dan pencucian uang itu juga mengakibatkan terhambatnya kemajuan ekonomi dan pembangunan sosial, serta memperlebar kesenjangan sosial.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap kasus dugaan suap Airbus di Indonesia atas pengadaan pesawat dan mesin pesawat dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka
Ketiganya yakni mantan Direktur Teknik dan Pengelola Armada PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno, mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, dan Bos PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo.
Selain Indonesia, Sri Lanka, Malaysia, Thailand, dan Ghana juga mempertimbangkan untuk mengklaim kompensasi atas kerugian akibat kasus suap Airbus SE di negeri tersebut.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020