• Beranda
  • Berita
  • Seberapa umum kejadian anemia defisiensi besi di Indonesia?

Seberapa umum kejadian anemia defisiensi besi di Indonesia?

17 Desember 2020 15:23 WIB
Seberapa umum kejadian anemia defisiensi besi di Indonesia?
Ilustrasi - Anemia. ANTARA/iStock.

Perempuan dan laki-laki punya risiko yang sama kekurangan zat besi

Kondisi anemia akibat kekurangan besi atau anemia defisiensi besi (ADB) bisa dialami siapa saja, termasuk anak dan wanita hamil yang dampaknya bisa saja terlihat dalam jangka pendek hingga waktu yang panjang.

Dokter spesialis gizi dan Ketua Departemen Ilmu Gizi FK UI, Nurul Ratna Mutu Manikam merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mengatakan, kondisi itu dialami 37,1 persen pada ibu hamil di tahun 2013, lalu meningkat menjadi 48,9 persen pada 2018 atau lebih tinggi dari angka global yakni sebesar 38 persen.

"Jumlah ibu hamil yang mengalami anemia berusia 15-24 tahun, 84,6 persen berusia muda mugkin belum siap mempersiapkan kehamilan, tingkat edukasi dan pemahaman kurang tentang anemia, terutama zat gizi," kata Nurul Ratna Mutu Manikam dalam webinar "Kekurangan Zat Besi Sebagai Isu Kesehatan Nasional di Indonesia dan Dampaknya Terhadap Kemajuan Anak Generasi Maju", Kamis.

Menurut Riskesdas 2013, pada anak, kelompok usia 12-24 bulan menjadi yang terbanyak mengalami anemia dengan presentase 36,1 persen diikuti kelompok usia 25-36 persen (28,4 persen), usia 49-60 bulan (19,2 persen) dan umur 37-48 bulan sebanyak 16.3 persen.

"Di dunia, 47 persen anak mengalami anemia dan 50-60 persen karena defisiensi zat besi yang (sebenarnya) bisa dipenuhi dari makanan sehari-hari. Perempuan dan laki-laki punya risiko yang sama kekurangan zat besi," tutur Nurul Ratna Mutu Manikam.

Penyebab kekurangan ini antara lain akibat pola konsumsi kurang asupan protein terutama sumber hewani, kurang konsumsi fortifikasi zat besi dalam makanan dan formula pertumbuhan, pemberian suplementasi zat besi tidak sesuai indikasi, tidak patuh minum suplementasi karena ada keluhan mual dan penyerapan zat besi yang tidak optimal.

Baca juga: Anemia saat hamil dan asap rokok dapat akibatkan "stunting" bayi

Baca juga: Lidah mulus tanpa bintil? pertanda ada masalah


Gejala anemia defisiensi besi dan dampaknya

Anemia defisiensi zat besi seperti dikutip dari WebMD, terjadi ketika tubuh tidak memiliki cukup sel darah merah yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Anda membutuhkan zat besi untuk membuat hemoglobin, protein yang membantu sel darah merah Anda membawa oksigen. Saat zat besi yang dibutuhkan kurang, Anda bisa mengalami gejala seperti lelah, lemah, kulit pucat atau kuning, sesak napas, pusing dan sakit kepala.

Anda juga bisa mengalami detak jantung cepat atau tidak teratur, nyeri dada, kaki dan tangan dingin, kuku rapuh, rambut rontok, pika (ingin mengonsumsi hal-hal selain makanan, seperti tanah liat, pasir atau batu) dan sakit pada lidah.

Nurul Ratna Mutu Manikam menuturkan, kekurangan zat besi bagi ibu hamil bisa meningkatkan risikonya melahirkan bayi prematur, anak lahir dengan berat badan rendah yakni di bawah 2500 gram, komplikasi perdarahan saat persalinan dan pembesaran otot jantung.

Sementara pada anak, kondisi ini dapat menurunkan kecerdasannya, pendengaran hingga fungsi motorik akibat dia mudah merasa lelah dibandingkan rekan-rekan seusianya.

Pada jangka panjang, performa anak di sekolah bisa menurun, dibarengi kemampuan berbahasa yang berkurang, perubahan atensi dan sosial sehingga dia menjadi sosok yang kurang tanggap terhadap lingkungan sekitar.

Anak juga bisa mengalami perubahan perilaku karena tidak aktif bergerak, mudah lelah, tidak ceria, cendeurng lebih peragu dan penakut, kurang percaya diri serta perilakunya lebih sulit diatur karena kurang responsif.

"Usia 6 bulan hingga 3 tahun adalah masa kritis terjadinya anemia karena kebutuhan zat besi dan gizi lainnya meningkat karena terbentuknya saraf-saraf otak yang lebih banyak sehingga memerlukan zat besi sebagai salah satu pembentukan sel saraf," papar Nurul.

Lebih lanjut mengenai tumbuh kembang anak, psikolog anak dan keluarga Anna Surti Arian mengatakan, kekurangan zat besi juga berdampak pada perkembangan anak.

Kondisi ini menghambat kemampuan anak untuk berkonsentrasi yang bisa berujung daya tangkap anak menurun, daya ingatnya kurang optimal, dan rentan mengalami masalah kognitif lain seperti kesulitan menganalisa dan mengambil kesimpulan, sulit memecahkan masalah, dan kurang kreatif.

Nantinya, dia rentan mengalami kesulitan belajar dan saat dewasa rentan jadi sulit bersaing di dunia kerja. Hambatan ini nantinya juga dapat membuat anak menjadi tidak percaya diri, murung, dan sulit bersosialisasi.

Oleh karena itu, menurut Anna, menjadi penting bagi orang tua untuk memastikan kebutuhan gizi harian anak terpenuhi, serta senantiasa memberikan stimulasi yang tepat untuk bisa mendorong pertumbuhan anak menjadi anak generasi maju yang berpikir cepat, tumbuh tinggi, tangguh, aktif bersosialisasi, dan percaya diri.

Selebritas Alyssa Soebandono menjadi sosok yang paham pentingnya zat besi bagi anak-anaknya. Alyssa Soebandono mengatakan, sejak hamil hingga saat ini, dia melalui rekomendasi dokter memastikan kecukupan zat besi untuk kedua buah hatinya, salah satunya melalui variasi makanan.

"Dari awal dokter mengingatkan pentignya nutrisi lengkap termasuk zat besi. Dari asupan makanan untuk Rendra (putra sulung Alyssa Soebandono) sudah mau lebih banyak varian makan tp saya sebagai orang tua enggak akan lengah. Anak bosan menu ini dikreasikan sedemikian rupa," kata Alyssa Soebandono.

Baca juga: Berapa kebutuhan zat besi harian Anda?

Baca juga: Jangan sepelekan masa menstruasi

Baca juga: Manfaat buah naga, cegah anemia hingga jaga kesehatan mata

 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020