Perpustakaan LKBN ANTARA dari masa ke masa

18 Desember 2020 17:36 WIB
Perpustakaan LKBN ANTARA dari masa ke masa
Pojok Baca Antara di SDS Pantai Indah Siswa berhamburan masuk ke perpustakaan saat peresmian pojok baca Antara di SDS Pantai Indah Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (15/1/2020). LKBN Antara bersama Balai Pustaka meresmikan penggunaan pojok baca Antara sebagai program bina lingkungan di SDS Pantai Indah Cilincing. (ANTARA/Fauzi Lamboka)
Kita mampu mengulur target literasi digital, tapi tidak ada orang yang mampu memutar waktu seperti dua puluh tahun lalu ketika banyak wartawan duduk membaca di perpustakaan ini, perpustakaan khusus milik Perum LKBN ANTARA.

Kebutuhan dan harapan para wartawan senantiasa berubah dinamis seiring perubahan selera dan cara mengonsumsi media, perpustakaan dituntut untuk hadir di dalamnya.

Telah tiba masa jurnalis millenial melengkapi diri dengan kompetensi literasi media yang handal hingga mampu menghasilkan karya jurnalistik multimedia berkelas, perpustakaan turut bangga menjadi salah satu bagian darinya.

Bisa jadi koleksi digital mendominasi, struktur organisasi perpustakaan berubah, ruangan boleh menyusut, namun fungsi-fungsi perpustakaan tidak boleh surut.

Perpustakaan LKBN ANTARA adalah perpustakaan khusus, yang memang dirancang untuk mendukung lembaga induknya.

Baca juga: Akademisi: Perpustakaan digital dorong minat baca mahasiswa

Hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 14 tahun 2017 yang antara lain menyebutkan bahwa kebijakan perpustakaan khusus adalah terintegrasi dan atau sinergis dengan kebijakan lembaga induk.

Cikal bakal perpustakaan ANTARA bermula dari seperangkat fungsi-fungsi dokumentasi dan perpustakaan di era 1950-an, kemudian secara struktur terbentuklah Biro Perpustakaan dan Acuan di bawah koordinasi Sekretariat Redaksi pada tahun 1981.

Para pemimpin telah meletakkan fungsi perpustakaan LKBN ANTARA sebagai pusat referensi, sumber belajar bagi wartawan dan karyawan, sekaligus pusat deposit untuk menunjang penelitian dan kebutuhan lembaga induknya.

Tugas utamanya adalah mengelola data dan informasi perusahaan termasuk bertanggung jawab terhadap pengumpulan dan penyimpanan data serta informasi terkait dengan produk dan layanan perusahaan yang memiliki nilai atau menjadi aset lembaga.

Perpustakaan ANTARA setidaknya telah menjawab tantangan tersebut yang terekam pada karya ilmiah berjudul “Inovasi Dan Praktik Terbaik Perpustakaan Perum LKBN ANTARA: Mendukung Tujuan Strategis Perusahaan”.

Karya ilmiah tersebut terbit pada Journal of Documentation and Information Science (ISSN 2502-6003), yakni jurnal internasional bidang ilmu perpustakaan dan informasi (ODLIS) yang diterbitkan oleh organisasi profesi Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII).

Baca juga: Pustakawan didorong proaktif sebar informasi perpustakaan digital

Tulisan tersebut memberikan penekanan pada makna inovasi, bahwa tanpa inovasi maka perpustakaan akan diabaikan dan ditinggalkan.

Memang acapkali inovasi dihubungkan dengan teknologi namun jangan lupa bahwa inovasi berlaku untuk seluruh proses utama yang bermanfaat melalui perbaikan terobosan guna meningkatkan output atau hasil yang dicapai.

Inovasi tentu merengkuh dinamika kebaruan dan semangat menciptakan dimensi-dimensi kinerja baru yang berguna untuk menjawab tantangan perubahan.

Menurut Baldrige Performance Excellence Program 2019, inovasi adalah melakukan perubahan yang bermakna untuk memperbaiki produk, jasa, program, proses, operasi dan model bisnis suatu perusahaan dalam rangka menciptakan nilai baru bagi para pemangku kepentingan perusahaan.

Lebih jauh disebutkan bahwa hasil dari inovasi adalah perubahan yang menyeluruh atau terobosan terhadap kinerja, produk atau proses.

Tentu saja inovasi dikatakan berhasil apabila proses-proses yang mengiringinya mengusung kaidah-kaidah berbagi pengetahuan, pengembangan, keputusan untuk mengimplementasikan, evaluasi dan pembelajaran.

Baca juga: ANTARA di Era Medsos sebagai "News Agency" plus "Newsroom"

Sudah menjadi kesepakatan bahwa inovasi harus menjadi budaya. Untuk itu agar inovasi cepat bertumbuh maka memerlukan percepatan pemanfaatan dan penyebarluasan akumulasi pengetahuan.

Akumulasi pengetahuan tentu bertumpu pada tiga komponen utama yakni pengetahuan karyawan, pengetahuan perusahaan dan pengetahuan yang ada pada pelanggan, pemasok dan mitra.

Pengetahuan karyawan dapat berupa informasi, gagasan, pembelajaran, pemahaman, ingatan, wawasan, kognitif dan keterampilan teknis serta kemampuan.

Sementara pengetahuan perusahaan mencakup software, hak paten, basis data, dokumen, pedoman, kebijakan dan prosedur-prosedur serta rancangan teknis yang dimiliki perusahaan.

Sedangkan aset pengetahuan yang terdapat pada pelanggan, pemasok dan mitra perusahaan tentu memerlukan strategi untuk mengelolanya.


Hasil Penelitian

Karya ilmiah berjudul “Inovasi Dan Praktik Terbaik Perpustakaan Perum LKBN ANTARA: Mendukung Tujuan Strategis Perusahaan” mengacu pada hasil pengamatan terhadap program kerja Perpustakaan LKBN ANTARA 2010 hingga 2018.

Ternyata program kerja yang paling banyak mendapatkan respon atau yang paling banyak digunakan adalah: pengemasan ulang arsip berita lama, kaleidoskop dalam format e-book; media monitoring; riset untuk mendukung pemberitaan multimedia; dan implementasi manajemen pengetahuan seperti bedah buku/film, sharing knowledge dan lainnya.

Praktik terbaik tersebut sesuai dengan fungsi pengemasan informasi dan mendukung penerapan manajemen pengetahuan.

Perpustakaan bukan hanya mengelola bahan pustaka, namun memfasilitasi kegiatan berbagi pengetahuan. Hal ini seolah menegaskan bahwa sesungguhnya perpustakaan memiliki kesanggupan untuk mendorong kaidah empat dimensi penciptaan pengetahuan yakni Socialization, Externalization, Combination, and Internalization atau sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi dengan akronim SECI yang dikembangkan Ikujiro Nonaka pada tahun 1990 .

Baca juga: Ganeca Digital manjakan pembaca peroleh buku cepat dan murah

Perpustakaan yang bersinergi dengan tiga sahabatnya yang bergelar Gallery, Library, Archives and Museum (GLAM) sebagai cabang-cabang ilmu dokumentasi harusnya tetap kokoh berdiri.

Faktanya memang kecerdasan buatan dan teknologi pengganti lainnya mempu menghasilkan lebih banyak uang dibanding yang dikerjakan manusia. Namun, bukankah manusia mampu berdampingan dengan mesin dalam harmoni?

Bukankah pustakawan telah melengkapi diri sesuai jenjang kompetensi yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang Perpustakaan?

Setidaknya sambil menunggu algoritma “kesadaran” ditanamkan pada robot, kita masih punya sedikit waktu. Ya, kesadaran masih menjadi milik kita, manusia, maka tidak ada alasan untuk surut.

*) Dyah Sulistyorini adalah alumnus Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) Jakarta

Pewarta: Dyah Sulistyorini*)
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020