Mungkin nama Papatonk terbilang asing di telinga orang Indonesia, meskipun dalam bahasa Sunda artinya capung.Konsep kami sederhana, bagaimana makanan tradisional ini dikemas secara modern
Akan tetapi di China nama Papatonk sudah tidak asing lagi. Tinggal ketik nama Papatonk di kolom pencarian Taobao, platform belanja daring milik raksasa e-dagang Alibaba, banyak sekali ditemukan berbagai jenis produknya.
Jangan salah sangka, Papatonk di China bukan hewan jenis serangga bersayap dua dan berbadan panjang yang sering kali menjadi santapan burung kayak disebut dalam bahasa Sunda itu.
Papatonk di China adalah produk kerupuk udang yang dalam beberapa tahun terakhir ditahbiskan sebagai "The official snack ambassador for Indonesian Tourism".
Papatonk diproduksi oleh PT United Harvest Indonesia dan tentu saja dibuat dan dikemas di Indonesia, tepatnya di Sentul, Jawa Barat.
Inilah salah satu flagship atau produk unggulan Indonesia yang sampai saat ini masih berkibar di China bersama dengan Indomie (mi instan), Kapal Api (kopi), Nabati (biskuit), dan Yan Taitai (sarang burung walet).
Produk-produk tersebut sudah melewati berbagai rintangan dan tantangan selama pandemi.
Selain itu, mereka bisa bertahan karena selalu mengikuti tren dan perubahan pola hidup masyarakat China.
Bayangkan, di tengah pandemi yang tentu saja menurunkan daya beli masyarakat China, Papatonk masih bisa menjual 10 kontainer kerupuk udang di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Baca juga: Dua toko produk olahan sarang walet Indonesia buka di China
Uniknya, 10 kontainer kerupuk udang merek Papatonk itu terjual hanya dalam tempo enam menit.
Kiatnya, ternyata cuma satu, yaitu mengikuti perubahan pola dagang di China yang saat ini sudah mengandalkan model promosi via video streaming.
"Selama pandemi, hampir semua toko dan sekolah di China tutup. Tidak bisa kita jualan kayak dulu lagi," kata Liky Sutikno selaku Chairman Indonesia Chamber of Commerce in China (Inacham) dalam forum virtual tentang Prospek Indonesia-China yang digelar Kedutaan Besar RI di Beijing pada 23 Desember 2020.
Setelah mendapatkan transaksi hingga 10 kontainer kerupuk udang, Papatonk harus punya komitmen agar tetap mendapatkan kepercayaan dari konsumennya di China.
Sepuluh kontainer kerupuk udang itu harus segera tersedia dalam jangka waktu dua pekan sejak pertama kali ditransaksikan.
Kalau tidak, maka bukan hanya tidak lagi dipercaya, melainkan juga harus bayar denda.
Tidak sedikit perusahaan Indonesia, terutama dari kalangan UMKM masuk China hanya coba-coba tanpa punya konsep dan perencanaan yang matang.
Setelah produk dinyatakan layak masuk pasar, ternyata gagal memenuhi permintaan, terutama dari segi kuantitas.
"Dulu saya pernah dukung UMKM masuk China bawa arang. Begitu di sana butuh satu juta arang, UMKM kita ga ada yang sanggup," kata Tahir MBA selaku Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Tiongkok dalam forum yang digelar melalui aplikasi Zoom itu.
Naik Kelas
Selain produk-produk unggulan di atas, ada juga kuliner khas Nusantara yang bisa diterima di pasar China, seperti yang disajikan restoran The Pawon.
Pawon yang dalam bahasa Jawa berarti dapur mampu mengemas makanan pasar bisa naik kelas.
Baca juga: Pengusaha Sichuan rasakan kemudahan berinvestasi di Indonesia
Bersaing di Shanghai bukan main-main. Itu kota terkaya dan termaju di China sehingga persaingan bisnisnya pun ketatnya tingkat dewa.
Sudah ada beberapa bisnis kuliner Indonesia yang berguguran di salah satu pusat keuangan dunia itu.
Uniknya, The Pawon didirikan di tengah melemahnya perekonomian China akibat pandemi.
Sejak mulai dibuka di Distrik Changning pada Mei, restoran yang menyajikan makanan khas Nusantara, mulai dari klepon, lumpia, bakwan, sate ayam/kambing, rendang, hingga sup buntut tersebut sampai saat ini tidak pernah sepi pembeli.
Bahkan saat ANTARA berkunjung ke restoran tersebut pada 19 Desember 2020 harus menunggu hingga 20 menit agar bisa mendapat tempat karena saking banyaknya pengunjung.
"Konsep kami sederhana, bagaimana makanan tradisional ini dikemas secara modern," tutur Edwin Senjaya, pemilik The Pawon.
Cara penyajiannya pun disesuaikan sedemikian rupa agar konsumen tidak pernah lupa.
Lazimnya, sup buntut disajikan bersama ekor sapi dengan kuah panas dalam satu mangkuk. Namun, The Pawon punya cara tersendiri, ekor sapi yang sudah dimasak cincang diwadahi mangkuk. Lalu pelayan menuangkan sup melalui cerek tembikar.
Harga pun terdongkrak karena cita rasa dan tentu saja cara saji tadi.
Baca juga: Perdagangan ASEAN-China tumbuh di tengah krisis
Papatonk dan The Pawon, sedikit di antara brand Indonesia yang berhasil karena kejelian membaca pasar di China yang sangat rumit dan ketat.
Tidak sedikit pula produk-produk Indonesia yang gagal menembus pasar China karena tidak mampu melewati rintangan.
Kedutaan Besar RI di Beijing mencatat enam kasus produk Indonesia gagal masuk China sepanjang 2020 karena terkontaminasi COVID-19. Semuanya itu adalah produk makanan beku.
Meskipun demikian, catatan perdagangan Indonesia-China relatif membaik selama tahun ini pula.
Dengan nilai perdagangan bilateral kedua negara pada periode Januari-November 2020 sebesar 69,4 miliar dolar AS, Indonesia mampu mengurangi defisit neraca perdagangan dengan China hingga 66,67 persen dibandingkan dengan selama Januari-November 2019.
Boleh saja sebagian produk ikan beku masih terhambat di China karena ditemukan berbagai kasus COVID-19 melalui cold-chain itu.
Namun bukan berarti peluang bagi pebisnis Indonesia tertutup karena masih ada celah dari buah-buahan tropis yang sangat dinantikan warga China.
Konsumen China sudah tidak sabar lagi merasakan manisnya buah naga dari Indonesia yang keran ekspornya sebenarnya sudah resmi dibuka pada tahun ini.
"Terlepas adanya standar yang makin ketat selama pandemi ini, kita bisa melihat peluang yang lebih cerah lagi dengan meningkatkan mutu agar kita bisa terus berkibar," kata Atase Perdagangan KBRI Beijing Marina Novira Anggraini optimistis.
Baca juga: Perancang busana Indonesia semarakkan "Takashimaya Art"
Baca juga: Tmall janji perkenalkan lebih banyak produk Indonesia di China
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020