Kampanye hidup sehat sudah gencar disampaikan lewat berbagai cara melalui berbagai medium dan platform.
Tetap saja, kasus dan kematian akibat virus corona terus bertambah.
Ekspos mengenai pemakaman yang kelimpungan menghadapi luapan jenazah korban COVID-19 atau rumah sakit yang sudah kelebihan kapasitas menampung pasien corona, tak bisa membuat semua orang peduli pada betapa mautnya pandemi ini.
Baca juga: Protokol kesehatan yang mulai terabaikan
Rekomendasi ilmiah tak banyak dipedulikan karena masih banyak yang enggan mendekati fenomena satu kali dalam setiap 100 tahun itu dari kaca mata sains.
Mereka juga mencibir orang-orang yang disiplin mengenakan masker, padahal dari hidung dan mulut yang direkomendasikan pakar untuk ditutup masker, di samping dari matalah virus corona baru ini bisa memasuki tubuh manusia.
Masih banyak yang tak peduli pada jaga jarak sosial sehingga tetap berkerumun, padahal berkerumunlah yang membuat penularan COVID-19 bisa berlangsung lebih luas dan lebih cepat.
Masih banyak yang tak mau tahu bahwa sekalipun tak menunjukkan gejala saat terpapar virus corona sehingga mestinya tetap mengkarantina diri, semua manusia berpotensi menjadi pembawa dan penyebar virus untuk ditularkan kepada keluarganya, tetangganya, temannya atau siapa pun yang pernah kontak dengan orang yang terpapar virus corona.
Baca juga: Disiplin kendalikan pandemi, kunci China pulihkan ekonomi
Manakala rangkaian kontak itu akhirnya sampai kepada kaum paling rentan, yakni orang tua dan mereka yang sudah memiliki penyakit kronis sebelum terpapar COVID-19, kematian dalam jumlah lebih besar pun menjadi tak terhindarkan.
Ketidakpedulian ini, yang diperburuk oleh ketidakkonsistenan dalam menegakkan protokol kesehatan dan aturan-aturan seperti keharusan karantina untuk mereka yang terpapar sekalipun tak bergejala, membuat penularan COVID-19 kian sulit dibendung yang akhirnya menaikkan kemungkinan bertambah besarnya yang mati akibat penyakit ini.
Buktinya, mengutip laman coronatracker.com, fatality rate COVID-19 di Indonesia mencapai 3 persen, jauh dari angka periode April-Juni 2020.
Ambil contoh Jakarta. Juni tahun lalu Presiden Joko Widodo menyebutkan RO atau tingkat penularan untuk COVID-19 di Jakarta turun di bawah 1.
Juni itu pula, meminjam data laman corona.jakarta.go.id, tingkat kasus positif atau positivity rate di Jakarta masih di bawah 10 persen.
Namun 1 Januari 2021, positivity rate di Jakarta sudah 24,9 persen, bahkan pada 31 Desember 2020 angkanya mencapai 32,4 persen. Rata-rata positivity rate Jakarta sepanjang Desember 2020 adalah 22,8 persen.
Herd immunity
Karena positivity rate naik lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan terakhir, maka semestinya RO Jakarta tak bisa lagi dianggap di bawah 1.
MRC Centre for Global Infectious Disease Analysis pada Imperial College London di Inggris sendiri menyebutkan, COVID-19 memiliki RO antara 1,5 sampai 3,5.
Artinya, jika satu tempat memiliki RO 1,5, maka empat orang yang terjangkit COVID-19 di tempat itu berpotensi menularkan enam orang lainnya, alias 4 x 1,5.
Bayangkan jika jumlah yang terinfeksi ribuan atau puluhan ribu dan saat bersamaan RO-nya 2 atau 3, berapa banyak manusia yang terpapar?
Baca juga: Satgas : Vaksin COVID-19 gratis di RI bantu kekebalan komunitas global
Baca juga: Satgas: Butuh 70 persen populasi untuk ciptakan kekebalan komunitas
Memang tak sesederhana itu, apalagi di banyak tempat, semakin banyak warga yang setia mematuhi protokol kesehatan yang bisa turut membendung penularan.
Tetapi kenyataannya, grafik kasus dan kematian akibat COVID-19 di Indonesia terus menanjak mengikuti apa yang sudah diprediksi pakar kesehatan pada awal pandemi bahwa pada gelombang kedua jumlah kasus infeksi dan kematian akibat COVID-19 akan lebih banyak lagi.
Data laman covid19.go.id sampai 1 Januari 2021 menunjukkan jumlah korban meninggal dunia akibat COVID-19 di Indonesia sudah 22.555 orang atau bertambah 226 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Sungguh ironis. Pada saat fatalitas virus corona disebut sebagian ilmuwan perlahan menurun walaupun kecepatan penularannya meninggi, dan ketika obat serta perawatan sudah semakin baik dan tersedia luas, kematian akibat CVID-19 malah kian banyak saja.
Salah satu penjelasan yang paling masuk akal untuk menjawab ironi ini adalah karena masih banyak orang yang enggan mematuhi protokol kesehatan.
Ketidakpedulian yang salah satunya membuat mobilitas dan interaksi fisik membesar lagi itu membuat angka penularan pun meninggi yang akhirnya dapat meningkatkan kemungkinan orang paling rentan terpapar virus ini sehingga angka kematian pun bisa meninggi.
Oleh karena itu, karena sebagian dari kita tidak displin dan karena perhatian otoritas terbelah antara menjaga masyarakat tetap sejahtera dan membuat rakyat sehat sehingga langkah menjadi terlihat kurang tegas.
Karena pemerintahan demokratis di mana pun tak bisa meniru langkah-langkah kejam yang diambil rezim-rezim otoriter seperti China atau Vietnam dalam membendung COVID-19.
Maka, pilihannya kini adalah membuat masyarakat tahan dari paparan virus dengan cara menciptakan herd immunity atau kekebalan kelompok.
Saatnya vaksinasi
Jika masyarakat sudah kebal dari bakteri atau virus, maka setiap orang menjadi terlindung karena kalaupun ada yang tertular maka virus tak bisa lagi menemukan orang yang tak kebal di dalam satu kelompok sehingga penularan tak terjadi.
Dan, mengutip mayoritas pakar kesehatan, herd immunity hanya bisa dicapai oleh vaksinasi. Dalam kata lain, vaksin menjadi cara terakhir dan terampuh dalam memutus mata rantai COVID-19.
Setidaknya untuk kepentingan mendesak, vaksinasi bisa melindungi orang-orang paling rentan, termasuk mereka yang bekerja di garis depan melawan COVID-19, dari tertular virus corona baru yang bisa mengacaukan perang melawan pandemi.
Baca juga: India setujui vaksin COVID-19 AstraZeneca/Oxford dan buatan lokal
Vaksinasi, mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam lamannya, adalah cara mudah, aman dan efektif dalam melindungi manusia terpapar penyakit sebelum manusia kontak dengan penyakit, karena vaksin memerintahkan tubuh menciptakan pertahanan alami tubuh dalam melawan virus atau bakteri seperti virus corona baru.
Pada akhirnya vaksinasi bisa menyelamatkan nyawa manusia lebih banyak lagi karena vaksinasi tak saja melindungi orang yang divaksinasi namun juga melindungi orang-orang di sekitar yang divaksinasi itu.
Kalau obat cuma menyembuhkan tapi tak bisa membuat manusia tak tertular kembali oleh penyakit yang sama, maka vaksin membuat manusia kebal dari penyakit itu untuk selamanya.
Baca juga: Biofarma sebut tak ada kendala distribusi vaksin ke seluruh Indonesia
Tak semua orang setuju vaksinasi atau setidaknya mau mengenal vaksin. Namun karena vaksin itu sangat ilmiah, maka skeptisme terhadap vaksin semestinya didasari oleh sains pula.
Selama cuma berpegang pada spekulasi dan teori konspirasi yang sejauh ini tak membuktikan apa-apa, maka tak ada alasan untuk meragukan vaksin.
Ravinder Singala, dokter rumah sakit McLaren Flint di Michigan yang menjadi salah seorang di antara mereka yang pertama menerima vaksin COVID-19 di AS, punya saran untuk mereka yang meragukan vaksin.
"Ikuti sains, baca informasi, berhenti menuruti teori konspirasi. Dengarkan mereka yang sudah membuktikan kemanjuran vaksinasi."
Bahwa WHO sudah memberikan rekomendasi penggunaan darurat kepada salah satu vaksin yang sudah tersedia di pasar --vaksin Pfizer-BioNTech-- menunjukkan perang melawan COVID-19 sudah berada pada babak baru yang tak semata mengandalkan protokol kesehatan dan pembatasan sosial.
Fakta bahwa China yang super-ketat membendung penularan penyakit ini saja tetap bisa mengalami lagi kenaikan kasus infeksi setelah ditulari orang asing yang datang ke negeri itu yang ternyata pembawa virus corona, membuktikan pandemi tak akan bisa diakhiri hanya dengan lockdown dan protokol kesehatan.
Untuk itu, kini saatnya vaksin mengisi peran utama dalam episode yang bisa menjadi babak akhir dari perang melawan COVID-19.
Baca juga: Vaksin bukan akhir, gaya hidup sehat adalah kebutuhan
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2021