Kita perlu mencermati berbagai peristiwa yang berpotensi menjadi ancaman dari bawah laut. Setidaknya terdapat tiga peristiwa penemuan drone bawah laut dalam kurun waktu setahun ke belakang yang perlu dinilai sebagai ancaman.
Ketiga penemuan tersebut yakni, yang pertama ditemukan oleh nelayan Indonesia pada 2019, Sea Wing UUV (Unmanned Underwater Vehicle) milik China di satu pulau dekat Laut Cina Selatan. Yang kedua, pada Januari 2020, ditemukan lagi di Jawa Timur. Sementara peristiwa ketiga baru saja terjadi di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, pada 20 Desember 2020 yang ditemukan seorang nelayan.
Sangat mungkin selama ini sudah banyak drone yang berkeliaran di wilayah Indonesia untuk mengambil data-data penting geografis dan potensi laut Indonesia. Artinya keamanan maritim kita sangat rentan untuk disusupi.
Peristiwa semacam ini berpotensi sebagai ancaman. Kita perlu lebih waspada dan terus membangun kekuatan pertahanan bawah laut untuk mencegah pihak-pihak yang bermaksud mengusik kedaulatan NKRI.
Mengapa dari bawah laut? Ada beberapa alasan.
Pertama, bawah laut adalah pusat pertahanan yang paling sulit dideteksi dan diserang musuh karena posisi dan mobilitasnya bisa jauh lebih mudah dirahasiakan, tanpa harus repot menyiapkan berbagai samaran seperti di darat.
Bandingkan saja dengan kekuatan pertahanan di darat. Ketika Perang Iraq, semua pertahanan anti pesawat udara, pesawat canggih, dan kekuatan tempur di darat semua lumpuh dan hancur dalam hitungan jam dihajar serangan pesawat kolasi pimpinan Amerika.
Teknologi secanggih apapun yang dibangun di darat dan di udara, dalam hitungan menit akan mudah dihancurkan musuh. Sementara, kekuatan bawah laut jauh lebih sulit diserang musuh.
Dengan luas laut dominan, posisi dan mobilitas kekuatan pertahanan bawah laut akan lebih leluasa diatur supaya menguntungkan perlindungan di permukaan, baik di air, laut mapun darat. Objek-objek strategis nasional harus bisa dilindungi dari bawah permukaan (nantinya bisa diintegrasikan dengan sungai-sungai yang luas dan kedalamannya mendukung).
Musuh apapun bisa diserang dari bawah laut, mulai dari kapal (apalagi kapal selam), pesawat udara, ataupun sasaran di darat. Namun kemampuan pertahanan bawah laut harus difokuskan pada pertahanan menghadapi kapal induk, kapal selam, dan semaksimal mungkin menyediakan payung anti-misil terhadap objek-objek strategis nasional di darat.
Kalaupun pelindungan terhadap objek-objek strategis nasional di darat gagal, namun sistem senjata di bawah laut tidak ikut hancur. Bandingkan apabila semua di tempatkan di darat.
Kedua, pertahanan di bawah laut akan menjadi keunggulan dan keunikan geografis Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang dominan laut dan fakta bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan harus bisa menjadikan bawah laut Indonesia sebagai Centre of Gravity (CoG) pertahanan Indonesia. COG bukan saja harus kuat menyerang, tapi harus kuat bertahan.
Doktrin Pertahanan Defensif Aktif Indonesia memerlukan pertahanan bawah laut yang kuat. Bawah laut adalah tempat yang paling sempurna untuk melakukan hal itu. Indonesia sudah ditakdirkan memiliki kondisi geogfrafis yang cocok dengan tujuan itu, untuk membangun CoG pertahanan di bawah laut.
Ketiga, masih terkait dengan geografis, pintu masuk musuh Indonesia paling terbuka dari laut. Tentu saja tidak logis bila berfikir ingin memagari laut Indonesia yang maha luas tersebut. Namun semaksimal mungkin pertahanan Indonesia harus mampu mengontrol titik-titik strategis, seperti di pulau-pulau terluar, pada choke points dan pintu masuk serta sepanjang Alur Laut Kepulauan Indonesia.
Bagaimana konsepnya?
Pertama, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia harus memikirkan untuk memprioritaskan kemampuan akuisisi kapal selam canggih (bila bisa yang bertenaga nuklir). Kapal selam bertenaga nuklir bisa menyelam bertahun-tahun tanpa harus isi ulang bahan bakar. Saat ini hanya Amerika Serikat, Rusia dan beberapa anggota NATO seperti Inggris yang memilikinya.
Akuisisi ini akan sangat sulit, tapi bila bisa dirintis akan sangat vital bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Tentu saja kapal selam ini harus dilengkapi dengan senjata peluru kendali yang canggih, termasuk untuk menyerang sasaran di darat dan di udara.
Kedua, Indonesia harus mulai memprioritaskan akuisisi lebih banyak akuisisi drone bawah air, baik untuk surveillance maupun untuk serangan dengan senjata taktis.
Ketiga, semua kekuatan bawah laut harus dilengkapi dengan infrastruktur pangkalan bawah laut yang tentu berbeda dengan pangkalan kapal biasa agar faktor kerahasiaan bisa dijaga.
Keempat, sumber daya manusia, riset dan pengembangan merupakan komponen yang wajib dibangun secara simultan. Penelitian yang pertama yang harus dilakukan adalah memetakan secara cermat kontur bawah laut Indonesia, dan merencanakan posisi yang tepat bagi posisi pertahanan bawah laut Indonesia. Penelitian kedua yang harus dilaksanakan bersamaan adalah mengkaji jenis dan tipe dari sistem senjata yang tepat ditempatkan di sekitar titik-titik yang telah dipetakan tersebut.
Konsekuensi dari pembangunan kekuatan bawah laut, maka jumlah dan kuantitas personil TNI AL harus dikalkulasi ulang untuk mengawaki armada kapal selam dan armada drone bawah permukaan. Proyeksi TNI AL kedepan sebaiknya diarahkan pada kekuatan armada kapal selam dan armada drone bawah air.
Indonesia harus berfikir out of the box, meninggalkan postur angkatan laut konvensional yang terlalu fokus di permukaan dengan kerawanan dan kerentanan yang tinggi bila dihajar musuh.
Kelima, yang paling penting dari semua itu adalah political will. Tentu saja semua komponen bangsa di pemerintahan, DPR, lembaga riset pertahanan, kelompok LSM Pertahanan, dan masyarakat madani harus bisa mendukung agar semua ini bisa terwujud.
Apa yang disampaikan ini bukan ide untuk tahun ini, bukan tahun depan, tapi berfikir jangka panjang. Tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi Indonesia. Namun mulai saat ini Indonesia harus mulai berfikir bagaimana menciptakan keunggulan pertahanan Indonesia tetapi berkesinambungan, memiliiki ketahanan yang tinggi.
Langkah-langkah ke sana sudah bisa dimulai sesegera mungkin, terutama kegiatan penelitian untuk mengkaji kelayakan dari konsep ini.
Satu hal yang perlu ditekankan disini adalah bahwa konsep sistem pertahanan bawah laut ini bukan pengganti Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta), tetapi sebagai penguat Sishanta pada aspek pertahanan laut dengan mengandalkan keunggulan kondisi georafis Indonesia.
Konsep ini juga harus nantinya bisa diintegrasikan dengan konsep yang sudah ada seperti konsep pertahanan pulau-pulau besar, gelar Komando Gabungan Wilayah (Kogabwil), dan konsep Network Centric Warfare (NWC).
Mungkin ide ini kedengaran agak muluk-muluk, tapi mungkin juga tidak bila berfikir Indonesia sebagai negara kekuatan ekonomi terbesar keempat pada 2050, setelah China, India, Amerika Serikat.
Indonesia butuh suatu rancangan pertahanan yang mandiri tapi unggul sesuai kondisi geografis Indonesia, dan sebuah desain pertahanan yang akan membuat konsep Poros Maritim Dunia Indonesia menjadi sesuatu yang lebih menggigit.
Strategy is about thinking of a game changer. Pertahanan Bawah Laut Indonesia yang unggul akan menjadi sebuah game changer yang bisa mendongkrak aspek deterent yang luar biasa bagi pertahanan Indonesia bila bisa diwujudkan di masa yang akan datang.
*) Mayor Jenderal TNI Jonni Mahroza, Ph.D, Wakil Rektor-1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhan RI.
Pewarta: Jonni Mahroza *)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021