"Dengan adanya PP ini, implementasinya akan jelas," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Sebab, lanjut dia, selama ini seperti terjadi kekosongan hukum dimana sudah ada yang divonis seperti di Pengadilan Mojokerjo, namun hukuman tambahan belum terlaksana karena belum ada turunan dari UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Jadi setelah pelaku ini menjalankan hukuman pokoknya baru dikenakan hukuman tambahan," kata Retno.
Oleh karena itu, ujar dia, KPAI mengapresiasi kebijakan yang diambil pemerintah sebagai upaya melindungi anak-anak dari pelaku kejahatan seksual yang dituangkan melalui PP 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitas dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Menurut dia, jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak untuk mengeksekusi, maka pemerintah harus mencari dan melatih tenaga kesehatan untuk melakukan kebiri kimia tersebut.
"Nah, orang ini harus dilatih karena harus ada ketentuannya," katanya.
Beberapa poin penting dalam PP 70/2020 di antaranya tindakan kebiri kimia dilakukan paling lama dua tahun bagi pelaku kejahatan yang telah menjalani masa hukuman pokok.
Hal itu dapat dilakukan setelah adanya beberapa tahapan, yakni wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021