Rafli dalam rilis di Jakarta, Senin, menyatakan kondisi minimnya stok komoditas tersebut dikhawatirkan berimbas meluas ke berbagai daerah.
Ketiadaan tahu dan tempe di pasaran, ujar dia, merupakan imbas dari bentuk protes terhadap kenaikan harga kedelai dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram.
"Jangan dianggap remeh-temeh persoalan ini. Keluhan dari perajin kedelai harus disikapi dengan langkah-langkah cepat. Konsumen sudah gelisah," paparnya.
Baca juga: Dinas Bandung pastikan perajin tahu-tempe kembali produksi
Menurut dia, masyarakat tentu berharap agar produsen kembali memasok tahu dan tempe sebab penggemar makanan tersebut cukup tinggi di warungnya.
Rafli pun berpesan kepada produsen agar harga tahu tempe bisa stabil, namun kalaupun harus naik harganya tetap wajar dan bisa terjangkau.
"Walaupun harganya naik, yang penting ada. Yang penting naiknya terjangkau," jelasnya.
Sebagaimana diwartakan, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi menyebutkan naiknya biaya angkut dan transportasi turut menjadi faktor yang menyebabkan melonjaknya harga kedelai di pasar dunia.
"Faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga kedelai impor yakni ongkos angkut yang juga mengalami kenaikan. Waktu transportasi impor kedelai dari negara asal yang semula ditempuh selama 3 minggu menjadi lebih lama yaitu 6 hingga 9 minggu," kata Suwandi usai rapat koordinasi Kementan bersama Gakoptindo di Kantor Pusat Kementan Jakarta, Senin.
Baca juga: Harga melonjak, Kementan siapkan ketersediaan kedelai lokal
Seperti diketahui, harga kedelai saat ini melonjak hingga Rp9.300 per kilogram, dari harga tiga bulan lalu yang masih di kisaran Rp6.000--Rp7.000 per kg, berdasarkan data Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indoensia (Gakoptindo).
Akibatnya, para pengrajin tahun dan tempe di dalam negeri terpaksa harus meningkatkan harga jual mereka karena bahan baku kedelai yang lebih mahal.
Suwandi menjelaskan bahwa dampak pandemi COVID-19 menyebabkan pasar global kedelai saat ini mengalami goncangan akibat tingginya ketergantungan impor.
Ia menambahkan bahwa tingginya impor kedelai bukan semata-semata karena faktor produksi. Namun demikian, hal tersebut terjadi karena disebabkan kondisi kedelai merupakan komoditas non lartas (dilarang dan dibatasi), atau bebas impor berapun volumenya tanpa melalui rekomendasi Kementan.
Harga kedelai yang saat ini terjadi kenaikan cukup signifikan sekitar 35 persen merupakan dampak pandemi Covid-19, utamanya produksi di negara-negara produsen seperti Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Rusia dan Ukraina.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021