Dampak pandemi, segala sendi kehidupan manusia terkoyak. Jantung kesehatan diserang, nyawa terancam, dan korban pun berjatuhan. Di Indonesia sekitar 10 bulan terakhir pandemi menyelimuti.
Data bersumber dari kawalcovid-19.id hingga Kamis (7/1) pukul 16.11 WIB menyebutkan 797.723 kasus terkonfirmasi di Indonesia, 114.766 dalam perawatan, 659.437 sembuh, dan 23.520 meninggal dunia.
Sebegitu dahsyatnya pandemi, membuat nyaris seluruh ruang dan waktu, daya, doa, dan upaya, inspirasi serta eksplorasi bernarasikan segala hal yang tak lepas dan bersumberkan persoalan penularan virus corona jenis baru itu.
Serangan COVID-19 melepaskan nyawa dari raga manusia, menghadirkan cemas setinggi angkasa, dan mungkin meluruhkan cita-cita tentang masa depan. Serangan virus mungkin juga melayangkan pertanyaan tentang daya tahan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarah membuktikan bahwa kehidupan selalu berbayang-bayang kematian. Pandemi yang belum berlalu ini, seakan makin mendekatkan irisan kehidupan dan kematian.
Ketimbang orkestrasi kehidupan yang menebarkan segala aura elok, merdu, bangga, sukses, mulia, dan romantis, tabuhan genderang kematian yang magis lebih menggelar karena pandemi.
Tabuhan sinyal kematian mengiringi curah upaya bersama menangani mereka yang diserang virus, mencegah orang supaya tidak terjangkit, dan menghentikan serangan globalnya.
Kematian memang peristiwa yang tidak berlaku tawar-menawar. Diungkapkan oleh Kepala Wihara Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Bante Sri Pannyavaro Mahathera, bahwa kematian memang menakutkan karena terjadi perubahan fatal.
Senormalnya saja, gangguan kesehatan dan kematian cenderung hendak dihindari manusia, meski ada keyakinan bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu dari fenomena perubahan.
Pandemi virus juga bagaikan hilir mudik kereta kematian menjemput penumpang yang lengah.
Penyair dan pegiat literasi Magelang, Jawa Tangah Wicahyanti Rejeki mengemukakan pemaknaan tentang bayang-bayang kematian atas kehidupan melalui puisi Goenawan Mohamad, "Senja pun Jadi Kecil, Kota pun Jadi Putih" (1966).
"Senja pun jadi kecil. Kota pun jadi putih. Di subway, aku tak tahu saat pun sampai. Ketika berayun musim, dari sayap langit yang beku, ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin, terhenti mempermainkan waktu. Ketika kita berdiri sunyi, pada dinding biru ini, menghitung ketidakpastian dan bahagia, menunggu seluruh usia," begitu puisi itu.
Tak pernah ada yang tahu kapan kematian datang, termasuk tak tahu kapan virus menyentuh dan menjangkiti.
Ihwal diketahui, sebatas tanda-tanda yang itu pun belum tentu kepastian akan datang kematian ataupun konfirmasi virus mematikan. Oleh karenanya, hidup di tengah pandemi seakan menyalakan daya juang mempertahankan diri dari kematian.
Dalam salah satu buku kumpulan khotbahnya, Bante Pannyavaro mengajak siapa saja menempatkan ihwal kepastian akan kematian justru untuk memotivasi mental manusia dalam mengupayakan cahaya harapan hidup.
"Gunakanlah bayang-bayang kematian untuk memotivasi mental kita," ungkapnya dalam bukunya, "Bersahabat dengan Kehidupan, Memaknai dengan Kearifan".
Baca juga: WHO Eropa desak fleksibilitas pada waktu pemberian dosis vaksin
Baca juga: Epidimiolog: Penggunaan masker lebih efektif daripada vaksin
Serangan balik
Distribusi vaksin COVID-19 yang sudah dimulai sejak awal tahun ini ke seluruh wilayah Indonesia, bagaikan serangan balik dimulai terhadap serbuan virus 10 bulan terakhir. Vaksin memberi tanda cahaya kehidupan.
Meski vaksin telah didistribusikan, vaksinasi masih menunggu keluarnya izin pemakaian darurat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekitar tiga juta dosis vaksin COVID-19 buatan Sinovac mulai didistribusikan PT Biofarma ke 34 provinsi pada Ahad (3/1). Distribusi itu sebagai mendekatkan persiapan program vaksinasi tahap pertama untuk periode Januari-April 2021. Periode kedua rencananya April 2021 hingga Maret 2022.
Kementerian Kesehatan menargetkan program vaksinasi selama 15 bulan dengan total sasaran 181,5 juta warga. Pengadaan dan pengamanan pasokan vaksin terus dilakukan pemerintah melalui berbagai sumber, untuk memenuhi seluruh kebutuhan mewujudkan kekebalan komunitas dari virus itu.
Berbagai pihak, termasuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, terlibat distribusi vaksin. Pemerintah daerah melakukan berbagai persiapan vaksinasi, antara lain penyediaan sarana dan prasarana, tempat-tempat pemberian vaksin, tenaga vaksinator, dan simulasi, agar pada saatnya berlangsung lancar, menjangkau masyarakat sasaran, dan sukses.
Presiden Joko Widodo sudah menyatakan diri sebagai yang pertama divaksin guna memantapkan kesediaan seluruh masyarakat untuk divaksin juga. Para kepala daerah pun mendengungkan kesediaan serupa, untuk divaksin pertama di daerah masing-masing.
Memang tidak serta-merta, ketika telah dilakukan vaksinasi kemudian seketika virus tiarap, tak berkutik.
Kewaspadaan dan kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan tetap harus dipentingkan, hingga pencapaian tataran kesadaran lebih tinggi lagi pascapandemi, yakni setiap warga bergaya hidup bersih dan sehat.
"Dengan berjalannya program vaksinasi ini kita justru harus tetap menjalankan protokol kesehatan," ujar Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin.
Vaksinasi memang bukan satu-satunya langkah mengakhiri penularan COVID-19, namun menjadi strategi utama menyalakan semburat harapan mencapai penyelesaian masalah pandemi.
Oleh karena kehadiran vaksin makin dekat, kiranya kesadaran setiap warga untuk divaksin, membuat pandemi yang mendekatkan irisan kematian dan kehidupan itu, berubah menjadi penguatan harapan kehidupan.
Kematian memang selalu membayangi kehidupan. Namun, kehidupan tak pernah tunduk kepada kematian.
Vaksinasi COVID-19 menjadi semburat pembebasan kehidupan dari legamnya bayang-bayang pandemi mematikan.*
Baca juga: Epidemiolog: Patuhi prokes meski vaksin akan dijalankan
Baca juga: Menteri BUMN: Bio Farma dapat izin produksi 100 juta vaksin COVID-19
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021