Kita atur kepemilikan dan pengendalian domestik ini dengan pertimbangan kebutuhan pendanaan, mendorong inovasi, menjaga stabilitas, dan kepentingan nasional
Bank Indonesia (BI) akan mengatur kepemilikan saham dan pengendalian domestik dalam penyelenggaraan sistem pembayaran di Tanah Air.
“Kita atur kepemilikan dan pengendalian domestik ini dengan pertimbangan kebutuhan pendanaan, mendorong inovasi, menjaga stabilitas, dan kepentingan nasional,” kata Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat.
Pengaturan terkait kepemilikan dan pengendalian domestik itu menjadi salah satu bagian dari pokok-pokok reformasi regulasi dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran yang diterbitkan 30 Desember 2020.
Pengaturan itu lahir, lanjut dia, mencermati tren inovasi digitalisasi yang membuat model bisnis berubah dengan cepat dan kompleks, bahkan produk dan jasa muncul dalam hitungan minggu hingga harian.
Inovasi tersebut membutuhkan dana yang besar untuk dukungan investasi SDM hingga teknologi.
Baca juga: BI reformasi aturan sistem pembayaran
Sayangnya, lanjut dia, dana terbatas di dalam negeri sehingga salah satu jalan keluar adalah kucuran dana investasi tidak terkecuali investor luar negeri.
“Kesempatan institusi penyelenggara sistem pembayaran untuk mendapat dana, untuk memperluas investor melalui perubahan pengaturan komposisi kepemilikan saham, tapi kita harus melindungi kepentingan nasional,” katanya.
Kebutuhan terkait pendanaan itu juga tidak terlepas dari reklasifikasi penyelenggaraan sistem pembayaran yang juga menjadi bagian pokok-pokok pengaturan PBI Sistem Pembayaran.
Saat ini, lanjut dia, ada sembilan penyelenggaraan sistem pembayaran menjadi empat Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) dan satu Penyelenggara Infrastruktur Pembayaran (PIP).
Baca juga: BSBI: Sistem pembayaran cross border e-commerce makin pesat di 2021
BI nantinya melakukan penyesuaian yakni untuk perizinan bagi PJP dan penetapan untuk PIP.
Dalam proses perizinan itu, PJP akan dikelompokkan dalam tiga kategori yakni Penyelenggara Sistem Pembayaran Sistemik (PSPS), Penyelenggara Sistem Pembayaran Kritikal (PSPK) dan Penyelenggara SIstem Pembayaran Umum (PSPU).
Klasifikasi tersebut, kata dia, berdasarkan empat kriteria yakni ukuran berkaitan dengan volume, hingga transaksi, kemudian keterhubungan dengan PJP lain, substitutability (bisa digantikan atau tidak) dan terakhir kompleksitas produk dan layanan.
Baca juga: BI ungkap pergeseran sistem pembayaran ritel melalui "fintech"
Dengan klasifikasi itu berdampak terhadap permodalan yang akan diatur BI yakni terkait modal awal yang harus dipenuhi semua kategori dan modal yang perlu ditambahkan (add on/on going capital) seiring perkembangan PJP.
“Kalau semakin besar dan kompleks maka modalnya harus ditambah ke depan,” imbuhnya.
Nantinya, lanjut dia, aturan terkait modal itu akan diatur lebih lanjut dalam PBI Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Pembayaran (PIP) sebagai aturan turunan dari PBI Sistem Pembayaran.
Aturan turunan itu, kata dia, sedang disusun dan akan keluar sebelum PBI Sistem Pembayaran berlaku 1 Juli 2021.
Baca juga: BI yakin digitalisasi mampu bawa Indonesia jadi negara maju
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021