Kelangkaan tahu tempe yang sempat terjadi beberapa waktu lalu menjadi cermin persoalan pertanian di Indonesia. Meski barangkali masih sedikit yang menyadari bahwa fenomena tersebut memiliki ekses dan menyimpan potensi persoalan mendasar yang harus diselesaikan.sehingga nantinya harga pokok produksi bisa bersaing dengan harga komoditas yang sama dengan negara lain
Di banyak negara lain di dunia, pengembangan pertanian saat ini menjadi fokus terkait ancaman krisis pangan terlebih di tengah pandemi COVID-19. Wajar kemudian ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki “concern” yang sangat dalam terkait pengembangan pertanian di tanah air.
Presiden Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian Tahun 2021 yang digelar secara virtual di Istana Negara, Senin, 11 Januari 2021 menyampaikan bahwa dalam kondisi pandemi COVID-19 sektor pertanian menempati posisi yang semakin sentral.
Sebagaimana badan pangan dunia FAO memperingatkan potensi terjadinya krisis pangan. Untuk itu Presiden mengimbau untuk berhati-hati, akibat adanya pembatasan mobilitas warga, bahkan distribusi barang antarnegara serta distribusi pangan dunia.
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa untuk tetap dapat memenuhi pangan bagi 273 juta penduduk Indonesia, maka pengelolaan yang berkaitan dengan pangan serta pembangunan pertanian harus diseriusi secara detail dan menggunakan skala luas.
“Dalam mengatasi masalah yang terjadi saat ini kita harus membangun program pertanian yang berbasis economic of scale (skala luas), untuk itu kenapa saya dorong food estate harus segera diselesaikan,” ungkap Presiden Joko Widodo.
Lumbung pangan
Lumbung pangan atau food estate menjadi tren tersendiri yang perlu disikapi dengan sangat serius. Faktanya Presiden Joko Widodo juga mengungkapkan harapannya, agar tahun ini Program Food Estate yang telah digarap di Provinsi Kalimantan Tengah dapat segera diselesaikan.
Sebab menurutnya, apabila program tersebut telah dilakukan, maka tahapan evaluasi penting dilakukan untuk melihat apa saja kendala yang terjadi di lapangan, sehingga nantinya apabila program tersebut berhasil dengan baik maka provinsi lain bisa mencontohnya.
“Inilah cara pembangunan pertanian yang harus kita tuju yaitu melalui skala luas dan menggunakan teknologi pertanian, sehingga nantinya harga pokok produksi bisa bersaing dengan harga komoditas yang sama dengan negara lain,“ kata Presiden Joko Widodo.
Kepala Negara menyampaikan apresiasinya terkait adanya pertumbuhan positif pada sektor pertanian terutama pada peningkatan ekspor komoditas pertanian.
Apresiasi itu menjadi kabar baik di tengah perlambatan kinerja sektor ekonomi secara keseluruhan, justru pertanian memberikan kontribusi yang meningkat.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah menyampaikan tekadnya untuk memperkuat peran sektor pertanian dalam menopang pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi COVID -19.
Kementan misalnya telah menetapkan arah kebijakan yaitu Pertanian Maju Mandiri Modern, sehingga arah kebijakan tersebut menjadi pedoman dalam bertindak cerdas, cepat, dan tepat bagi seluruh jajaran Kementan.
Membangun pertanian yang maju, mandiri, dan modern kian tertantang kala wabah corona masuk ke Indonesia, dan menghantam perekonomian dunia termasuk Indonesia.
Untuk itu dalam rangka mencapai ketahanan pangan, nilai tambah dan ekspor yang pertama harus dilakukan adalah meningkatkan produktivitas kemudian melakukan program pendukung yang telah diformat dengan 5 cara bertindak (CB) sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
“Cara Bertindak yang kami lakukan meliputi peningkatan kapasitas dan produksi, diversifikasi pangan, penguatan cadangan atau lumbung pangan, penerapan pertanian modern atau modernisasi pertanian serta peningkatan ekspor pertanian melalui Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks),” kata Mentan.
Lebih lanjut Mentan mengungkapkan bahwa untuk menindaklanjuti arahan Presiden, Kementerian Pertanian telah melakukan upaya terobosan melalui pengembangan kawasan pertanian skala luas (food estate) dan program korporasi pertanian di 6 provinsi serta melakukan perluasan areal tanam.
Mentan mengungkapkan bahwa dirinya beserta seluruh jajaran Kementerian Pertanian siap menjalankan tugas dan bekerja keras di lapangan. Dan menyampaikan terima kasihnya kepada semua pihak yang telah mendukung dalam pembangunan pertanian.
“Dukungan dan kerja sama dari pemerintah daerah baik itu gubernur maupun bupati serta para menteri yang lainya sangat luar biasa bagi kami,” ujar mentan.
Dinamika pangan
Meniadakan impor pangan di Indonesia adalah kemustahilan sebab pada prinsipnya tidak mungkin suatu negara terbebas dari impor secara keseluruhan.
Praktisi pertanian Wayan Supadno mengatakan impor pangan tak terelakkan karena masing-masing negara memiliki produk pangan yang berbeda yang sesuai dengan kecocokan agroklimatnya. Dengan begitu setiap negara berbeda dan punya kelebihan komoditas masing-masing sehingga ia menilai bahwa ekspor impor pangan merupakan hal biasa saja. Hanya bagian dari perdagangan antarnegara.
Namun yang akan menjadi masalah yakni jika angka impornya lebih besar dibanding ekspornya atau defisit. Lebih masalah lagi, menurut Wayan, jika barang impornya jauh lebih kompetitif baik harga maupun mutunya pada pangan tropis seperti yang diproduksi di Indonesia.
Jika itu terjadi dan kran impor dibebaskan maka volumenya bisa saja menjadi tanpa kontrol untuk melindungi produsen di dalam negeri bisa dipastikan akan jadi pembunuh karakter profesi.
Dampaknya bila terjadi di sektor pangan maka korbannya adalah petani dan peternak. Bila saat panen barang impor masuk dengan harga lebih murah maka akan menjadi sebab kebangkrutan petani.
Mereka bisa saja akan enggan bertani, akhirnya alih profesi dan itu sejatinya sudah terjadi di mana BPS mencatat petani yang alih profesi sudah mencapai 0,5 juta KK/tahun. Jika berlarut-larut kurun waktu lama kolektifnya akan mengancam angkatan kerja di pertanian makin berkurang tajam.
Ketidaksejahteraan profesi petani akan berakibat pada menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian. BPS dan Sensus Pertanian mencatat proporsi petani muda hanya 12 persen dari total petani di Indonesia.
Indonesia akan menghadapi ancaman lain berupa kurangnya pakar atau pemikir di bidang pertanian. Wayan Supadno mengkhawatirkan dampak lanjutannya yakni politik pertanian yang bisa kalah di level kebijakan sehingga peraturan yang dihasilkan bisa tidak berpihak pada petani dan pangan terancam.
Jika pangan makin terancam maka stabilitas nasional pun terancam sehingga semakin besar jumlah impor. Akibatnya Indonesia hanya akan menjadi pangsa pasar dengan banyak lahan terlantar, di sisi lain banyak pemodal asing justru berdatangan.Wayan Supadno pun menyarankan bahwa memang sektor pertanian memerlukan langkah nyata untuk mengantisipasi ancaman itu sejak dini.
Sektor pertanian memang faktanya diperlukan keseriusan dan produksi dalam jumlah besar sehingga pertanian skala raksasa adalah solusi terbaik.
Baca juga: Presiden minta gubernur dukung penuh perizinan terkait lumbung pangan
Baca juga: Mentan pacu produksi hingga hilirisasi beras di food estate Kalteng
Baca juga: Luhut pastikan dua lokasi food estate tak lewati batas hutan lindung
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021