"Tampak berawan, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem," kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin kepada ANTARA, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan pantuan Sadewa (Satellite-based Disaster Early Warning System) Lapan, tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian.
Perkiraan kondisi atmosfer dari aplikasi Sadewa Lapan menggunakan Satelit Himawari-8 9 (awan tumbuh) dan model WRF (angin dan hujan) menunjukkan di sekitar titik kejadian tidak ada kondisi atmosfer ekstrem.
Baca juga: Tim DVI terima 58 sampel DNA keluarga korban Sriwijaya
Baca juga: Okky Bisma sempat tinggal bersama ibunya di Kramat Jati
Thomas mengatakan walau ada proses pembentukan sistem konveksi di sekitar titik kejadian, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem.
"Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat," ujarnya.
Analisis dinamika atmosfer menunjukkan sistem konveksi skala meso telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa di sekitarnya sejak pukul 11.00 WIB pada 9 Januari 2021. Sistem itu kemudian pecah dan berpropagasi ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang waktu 13.00-15.00 WIB.
Pada 9 Januari 2021 pukul 14.40 WIB pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak mengalami hilang kontak di sekitar Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.
Pesawat itu membawa 50 penumpang dan 12 awak kabin.*
Baca juga: Kapal Baruna Jaya bantu pencarian kotak hitam pesawat Sriwijaya SJ-182
Baca juga: Tim SAR gabungan hari ini fokus cari kotak hitam Sriwijaya Air
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021