"Perdagangan kita turun cukup signifikan, yakni 11 persen dalam sepuluh bulan pertama 2020--dan itu dapat dipahami (terkait situasi krisis COVID-19, red)," kata Piket dalam pemaparan media secara virtual, Rabu.
"Indonesia bertahan surplus [...] kebanyakan berkat keberhasilan negara ini dalam ekspor minyak kelapa sawit ke EU, yang faktanya naik sebesar tak kurang dari 27 persen secara nilai, dan 10 persen secara volume," ujar Piket menjelaskan.
Perdagangan Indonesia-EU diwarnai perselisihan soal minyak kelapa sawit pada 2019, setelah blok itu membuat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation yang disebut akan dapat membatasi akses masuk produk-produk bahan bakar hayati yang dinilai tidak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan (unsustainable crop based biofuels), termasuk minyak sawit.
Baca juga: Dubes EU: tak ada target waktu untuk CEPA, isu sawit masuk bahasan
Namun demikian, dalam Pertemuan ke-23 Tingkat Menteri ASEAN-EU awal Desember tahun lalu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi kembali meminta Uni Eropa untuk memperlakukan produk kelapa sawit Indonesia dengan adil.
"Indonesia tidak mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi," kata Retno, dikutip dari keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI, 1 Desember 2020.
Sebelumnya, Indonesia telah menyampaikan gugatan mengenai isu kelapa sawit kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), 9 Desember 2019--dan prosesnya masih berjalan hingga sekarang.
Sementara dalam pernyataan pers awal tahun ini, Dubes Piket menyebut bahwa kenaikan angka ekspor minyak kelapa sawit di atas adalah "suatu bukti yang sangat jelas bahwa pintu EU masih terbuka bagi komoditas alam Indonesia dan juga minyak kelapa sawit."
Baca juga: Wamenlu: Indonesia tidak terima kebijakan energi EU yang diskriminatif
Baca juga: Tolak diskriminasi sawit, Indonesia minta itikad baik EU
Pewarta: Suwanti
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2021