Pandemi penyakit yang disebabkan virus Corona baru atau COVID-19 yang menghantam dunia termasuk di Indonesia, semakin menekan kehidupan petani yang selama ini masih dalam keterbatasan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) pada Desember 2020 tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,37 persen menjadi 103,25, dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 102,86.
Meskipun secara garis besar NTP pada Desember 2020 mengalami kenaikan, namun jika dilihat lebih dalam, khusus untuk NTP subsektor tanaman pangan, malah mengalami penurunan sebesar 0,54 persen, dari sebelumnya 100,89 pada November 2020 menjadi 100,34.
Nilai Tukar Usaha Pertanian nasional (NTUP) pada Desember 2020, juga tercatat naik 0,70 persen menjadi 104,00. Namun, lagi-lagi untuk NTUP subsektor tanaman pangan, juga turun 0,19 persen, dari sebelumnya 101,34, menjadi 101,14.
Kehidupan para petani utamanya untuk tanaman pangan, seperti padi, memang bisa dikatakan masih jauh dari berkecukupan. Tidak jarang, para petani yang menggarap sawah di berbagai daerah, merupakan buruh tani yang hanya mendapatkan penghasilan tidak banyak.
Seorang buruh tani di Desa Mojosari, Kecamtan Kepanjen, Kabupaten Malang Wiyono (55) misalnya, kesehariannya mengerjakan lahan seluas kurang lebih 200 meter milik majikannya. Proses pengerjaan sawah hingga panen, kurang lebih memakan waktu 4-5 bulan.
Dari lahan digarap Wiyono, dalam satu kali panen bisa menghasilkan lima kuintal gabah kering giling (GKG). Saat ini, ujar Wiyono, harga untuk per kuintal GKG yang dihasilkannya berkisar pada angka Rp500 ribu, dan untuk sekali panen, lahan yang Ia garap menghasilkan Rp2,5 juta.
"Untuk dapatnya sekitar lima kuintal. Satu kuintal dijual Rp500 ribu. Saya setor ke pemilik lahan, dan untuk saya mendapatkan seperempat dari hasil yang saya setorkan," kata Wiyono.
Jika dihitung, dari total hasil produksi yang senilai Rp2,5 juta tersebut, Wiyono hanya mendapatkan Rp625.000 untuk sekali panen, yang hanya bisa dipergunakan untuk menyambung dan memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.
Dengan atau tanpa adanya pandemi COVID-19, pendapatan bisa dibilang cukup rendah. Terlebih, musim panen padi, tidak dilakukan setiap bulan, sehingga pendapatan yang minim itu, harus dikelola untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Selama pandemi sejak Maret 2020, tidak banyak yang berubah dari keseharian Wiyono dalam menggarap sawah. Wiyono mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui Program Keluarga Harapan (PKH).
Bantuan tersebut, bisa sedikit meringankan beban yang selama ini dipikul Wiyono dan keluarga. Namun, bantuan lain yang diharapkan adalah bantuan pupuk, atau benih yang bisa dipergunakan untuk mengolah sawahnya.
"Saya berharap ada bantuan benih dan pupuk. Pupuk saat ini mahal sekali, sekarang urea Rp150 ribu. Benih Rp60 ribu-Rp90 ribu, per kilogram," kata Wiyono.
Seorang petani di Desa Ngebruk, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Marlan (65) mengatakan bahwa harga pupuk dalam tiga bulan terakhir mengalami kenaikan.
Harga pupuk subsidi yang sebelumnya Rp95 ribu per karung, saat ini naik menjadi Rp120 ribu per karung. Sementara untuk pupuk yang tidak disubsidi oleh pemerintah, harganya juga naik, dari sebelumnya Rp175 ribu per karung, menjadi Rp275 ribu.
"Pendapatan dicukup-cukupkan, namun saat ini harga pupuk sedang tinggi. Itu cukup berat," kata Marlan.
Marlan mengaku, mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dialokasikan dari Dana Desa. Besaran BLT adalah Rp600 ribu per kepala keluarga selama tiga bulan sejak April 2020.
Bantuan dikumpulkan membayar tenaga buruh tani. Pada usianya yang sudah tidak muda lagi, Marlan menyewa jasa untuk menggemburkan tanah pada lahan miliknya dengan luas kurang lebih 500 meter persegi.
Upah yang dibayarkan Marlan untuk menyewa traktor dan membayar tenaga buruh tani itu berkisar antara Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hektare. Menurutnya, dengan adanya BLT tersebut cukup membantu, dan mengurangi pengeluaran untuk biaya produksi.
Dengan lahan yang dimiliki Marlan itu, untuk satu kali panen menghasilkan gabah kering giling kurang lebih sebanyak satu ton. Dengan harga GKG per 100 kilogram sebesar Rp500 ribu, maka untuk setiap kali panen bisa mengantongi Rp10 juta, sebelum dikurangi biaya produksi.
"Saya berharap ada bantuan lagi dari pemerintah, untuk membantu mengurangi beban biaya produksi. Terutama untuk pupuk," kata Marlan.
Kondisi yang dihadapi para petani di wilayah Kabupaten Malang tersebut, tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelum adanya pandemi penyakit akibat penyebaran virus Corona. Kehidupan Marlan, dan Wiyono, masih jauh dari kata-kata berkecukupan.
Kondisi kian berat
Ekonom Universitas Brawijaya Nugroho Suryo Bintoro, SE., M.Ec.Dev., Ph.D. mengatakan bahwa jika dilihat pada kondisi riil, para petani yang ada di Indonesia merupakan petani dengan skala kecil, dan memiliki nilai ekonomis sangat rendah.
Dengan kondisi tersebut, ditambah harga pupuk yang tinggi, serta harga jual produk pertanian yang tidak menentu, bisa dikatakan bahwa bukan hanya untuk saat ini, namun secara jangka panjang, sektor pertanian akan menjadi sektor yang tidak menjanjikan.
"Bahkan, jika (pertanian) bergeser atau ada pengalihan fungsi lahan, ini akan berbahaya untuk jangka panjang. Ketika pemerintah mencanangkan program ketahanan pangan, ini terancam," kata Nugroho.
Bantuan yang disalurkan pemerintah saat ini, jika dilihat dari sisi kehidupan rumah tangga pertanian akan membantu, untuk sekedar bertahan hidup. Namun, dari sisi mata pencaharian dan keberlangsungan jangka panjang, tidak akan banyak membantu.
Bantuan kembali lagi ke sifat dari subisdi itu, bantuan untuk jangka pendek.
Terlebih, pada saat terjadi pandemi COVID-19, ada berbagai faktor yang menekan kondisi petani, terutama soal tidak stabilnya harga barang-barang yang dibutuhkan untuk proses produksi, seperti harga pupuk.
Terkait kestabilan harga tersebut, tidak hanya berdampak pada faktor biaya produksi semata, namun juga berpengaruh terhadap jumlah pendapatan yang diterima petani. Dengan biaya produksi tinggi, maka pendapatan petani akan menurun.
Hal itu disebabkan karena para petani tidak memiliki pilihan untuk menaikkan harga hasil panen, karena yang menentukan adalah harga pasar. Sementara biaya yang dikeluarkan petani terus membengkak, yang akhirnya berdampak pada turunnya pendapatan para petani.
Input bahan baku untuk produksi, salah satunya adalah pupuk, dan bibit, yang nantinya akan menjadi output pertanian. Jika tata kelola distribusi pupuk ini tidak stabil, maka kembali lagi, petani yang akan merasakan dampaknya.
Belum lagi, di tengah kondisi pandemi COIVD-19, ada praktik-praktik penimbunan pupuk yang pada akhirnya dijual dengan harga melejit, dan menekan kondisi para petani. Pemerintah harus hadir untuk memberantas masalah tersebut.
Terlebih pada saat diterapkan Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), ada potensi penimbunan, dan gangguan distribusi pupuk. Dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah harus hadir.
Menurut catatan Nugroho, ada beberapa hal yang bisa dibenahi pemerintah, terutama pada masa pandemi seperti saat ini. Ada beberapa hal yang menjadi catatan, yakni terkait dengan stabilitas harga, alur distribusi, jaminan pasokan, dan kepastian pembelian hasil pertanian.
"Ini merupakan persoalan lama. Sebetulnya, pada era pandemi COVID-19, merupakan momen untuk mengetahui potensi pertanian masing-masing wilayah," ujar Nugroho.
Dari berbagai masalah menahun yang selalu dihadapi oleh para petani tersebut, persoalan terbesar adalah terkait dengan stabilitas harga, baik hasil pertanian, maupun produk yang dipergunakan untuk proses produksi.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan jaminan kepastian serapan hasil pertanian, dan menghindarkan para petani dari para tengkulak, dan juga membenahi rantai distribusi yang bisa memunculkan persaingan sehat.
Baca juga: Petani jadi "striker" bagi semua sektor melawan pandemi
Baca juga: IPB: Sektor pertanian dapat jadi penyelamat ekonomi bangsa
Baca juga: Anggota DPR: Pastikan Kartu Tani tersebar ke mereka yang berhak
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021