Hal itu dilakukan agar bangunan tahan gempa atau untuk meminimalkan kerusakan ketika guncangan terjadi akibat gempa.
"Dari unsur rekayasa sipil, konstruksi bangunan harus memenuhi standar bangunan (building code) yang bisa mengadopsi guncangan setempat," kata Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah (PTPSW) BPPT Agustan kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bangunan tahan gempa mutlak di daerah rawan gempa seperti Sulbar
Agustan juga menuturkan tata ruang dan wilayah seharusnya memperhitungkan aspek kebencanaan termasuk potensi gempa. Jika tidak mengindahkan aspek kebencanaan, maka dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar baik secara material maupun korban jiwa jika terjadi bencana sewaktu-waktu.
Menurut Agustan, konstruksi bangunan atau rumah juga dapat menggunakan struktur bangunan warisan leluhur berdasarkan kearifan lokal seperti rumah panggung dari kayu atau rumah struktur Nias.
Agustan mengatakan jika ingin menggunakan bahan dari bata atau semen, satu-satunya cara adalah kekuatan struktur seperti yang diterapkan di Jepang, yakni kekuatan struktur yang mampu menahan guncangan yang telah diestimasi kekuatannya, dan struktur batuan atau tanah lokal.
"Karena guncangan di daerah batuan keras akan beda dampaknya jika dibanding daerah dengan batuan, tanah lunak, atau berpasir," ujarnya.
Baca juga: BMKG: Bangunan tahan gempa jadi kunci keselamatan
Baca juga: Bangunan pondok wisata dibuat berarsitektur lokal karena tahan gempa
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya standarisasi bangunan tahan gempa
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021