Mengikis gerak radikalisme di tengah pandemi

17 Januari 2021 23:28 WIB
Mengikis gerak radikalisme di tengah pandemi
Sejumlah masa dari Masyarakat Bela Keutuhan NKRI (Masbehi) Yogyakarta melakukan aksi damai di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, DI Yogyakarta, Senin (30/11/2020). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/hp.
Radikalisme dan terorisme, dua kata yang selama ini cukup akrab bagi masyarakat saking kerapnya dikonsumsi dalam pemberitaan media, mulai penangkapan terduga teroris, pendanaan teroris, hingga pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) radikal.

Memasuki tahun 2021, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri bersama Brimob Polda Sulawesi Selatan menggerebek sebuah rumah di Cluster Biru, Perumahan Villa Mutiara, Kelurahan Bulurokeng, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Rabu (6/1) pagi.

Dalam penggerebekan itu, dua terduga teroris yang termasuk dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yakni SA dan MR tewas, sementara satu terduga teroris, yakni I harus dirawat di rumah sakit karena luka tembak.

Penggerebekan itu merupakan salah satu titik dari lima titik penggerebekan teroris di Sulawesi, yakni tiga titik di Makassar, dua titik di Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Gowa dan 18 terduga teroris berhasil diamankan.

Berdasarkan keterangan polisi, dua terduga teroris yang tewas itu berperan dalam pengiriman dana untuk pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral, Jolo Filipina pada 2019 silam, dan menjadi fasilitator pelarian Andi Baso yang merupakan buronan bom Gereja Oikumene, Samarinda pada 2017.

Pada 2016, MR dan SA yang merupakan mertua dan menantu, bersama keluarganya hendak bergabung dengan organisasi teroris ISIS di Suriah, namun dapat dicegah polisi di Bandara Soekarno Hatta.

MR dan SA bersama kelompoknya yang menghuni Cluster Biru Villa Mutiara secara rutin berlatih menembak dan naik gunung sejak Oktober 2020.

Tak hanya di Sulawesi, Densus 88 Antiteror Polri pada Desember 2020 juga menangkap 23 teroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di delapan lokasi di Sumatra, yakni Lampung Selatan, Lampung Tengah, Bandar Lampung, Pringsewu, Metro, Jambi, Riau dan Palembang.

Dari 23 teroris itu, dua di antaranya merupakan petinggi JI, yakni Taufik Bulaga alias Upik Lawanga dan Zulkarnain alias Arif Sunarso alias Panglima Askari JI.

Upik Lawanga yang merupakan anggota JI adalah dalang dari beberapa peristiwa teror bom seperti Bom Pasar Tentena, Bom Pasar Maesa, Bom Gor Poso, Bom Pasar Sentral, Bom Termos Nasi Tengkura, Bom Senter Kawua, dan rangkaian aksi teror lainnya pada tahun 2004 hingga 2006.

Zukarnain merupakan buronan Polri dalam kasus teror Bom Bali I yang terjadi tahun 2001, memiliki kemampuan merakit bom berdaya ledak tinggi dan senjata api, serta punya kemampuan militer dalam melakukan aksi teror.

Di Pulau Jawa, masih pada medio Desember 2020, Densus 88 Antiteror Polri juga berhasil menemukan sebuah sasana bela diri di Ungaran kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang diketahui merupakan milik kelompok teroris JI.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menjelaskan sasana bela diri di Ungaran tersebut berbentuk beberapa rumah vila yang kemudian digunakan untuk pelatihan bela diri bagi kelompok JI.

Kelompok JI, diketahui memiliki 12 lokasi serupa di Jawa Tengah, salah satunya ada di Ungaran, Kabupaten Semarang. Tak hanya bela diri, di sasana juga diajarkan cara merakit bom dan cara menghadapi penyergapan.

Itu belum termasuk penangkapan tujuh terduga teroris di empat provinsi dalam sepekan pada November 2020, yakni Lampung, Sumatera Barat, Batam (Kepulauan Riau) dan Banten. Artinya, gerakan radikalis dan teroris sudah sedemikian masif.

Baca juga: Bebasnya Ba'asyir dan kekhawatiran bangkitnya terorisme

Pendanaan kotak amal
Untuk bergerak, kelompok teroris tentu membutuhkan dana dan ternyata mereka selama ini rajin menebar kotak amal berkedok yayasan untuk membiayai gerakannya, selain pengumpulan secara langsung melalui acara-acara tabligh.

Polri menjelaskan bahwa organisasi teroris JI mendapatkan sumber dana dari kotak-kotak amal yang disebar di berbagai tempat dengan menggunakan beberapa nama yayasan agar tidak memancing kecurigaan masyarakat.

Makanya, kotak-kotak amal yang disebar tidak memiliki ciri spesifik yang mengarah ke organisasi teroris.

Dalam metode kotak amal, mereka menggunakan nama yayasan resmi yang mencantumkan nama dan kontak yayasan, nomor SK Kemenkumham, Baznas dan Kemenag, serta melampirkan majalah yang menggambarkan program-program yayasan.

Asep menyebut penempatan kotak amal mayoritas di warung-warung makan konvensional karena tidak perlu izin khusus dan hanya meminta izin dari pemilik warung yang biasanya bekerja di warung tersebut.

Untuk mempertahankan legalitas yayasan tersebut, mereka tetap melaporkan jumlah pemasukan dari kotak amal setelah terlebih dahulu dipotong sejumlah tertentu untuk pemasukan organisasi JI.

Dari penyelidikan Polri, metode kotak amal ini dilakukan dengan mencantumkan nama Yayasan Abdurrahman Bin Auf (ABA) dan FKAM, sementara untuk metode pengumpulan langsung menggunakan nama Yayasan Syam Organizer (SO), One Care (OC), Hashi dan Hilal Ahmar.

Menariknya, dalam mengumpulkan dana, belum pernah ditemukan Jamaah Islamiyah menggunakan nama yayasan palsu.

Dari pemeriksaan tersangka Fitria Sanjaya alias Acil dari Yayasan ABA, didapatkan informasi sebaran kotak amal mereka di seluruh Indonesia mencapai 20.068 kotak dengan rincian, yakni Sumut 4.000 kotak, Lampung 6.000 kotak, Jakarta 48 kotak, Semarang 300 kotak, Pati 200 kotak, Temanggung 200 kotak, Solo 2.000 kotak, Yogyakarta 2.000 kotak, Magetan 2.000 kotak, Surabaya 800 kotak, Malang 2.500 kotak dan Ambon 20 kotak.

Menyikapi penyalahgunaan kotak amal untuk menghimpun dana teroris, Kementerian Agama akan memperketat pengawasan zakat dan infak, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin.

Selain memperketat, Kemenag  juga akan mengevaluasi lembaga amil zakat yang terbukti menyalahgunakan pendistribusian zakatnya.

Kemenag akan mendiskusikan kotak amal yang disalahgunakan untuk pendanaan terorisme, dan nantinya akan ada evaluasi komprehensif terhadap lembaga amil zakat (LAZ).

Selain itu, Kemenag juga akan membahas soal kemungkinan sanksi terhadap lembaga amil zakat yang menyalahgunakan dana zakat, seperti mencabut izin operasi LAZ.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Agus Salim pun menyampaikan perlunya pengetatan bagi lembaga zakat seiring ada penyalahgunaan kotak amal, terutama menjelang bulan puasa.

Melihat realitas tersebut, polisi harus segera mengusut tuntas yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan kelompok teroris, dan memutus modus operansi kotak amal teroris itu agar masyarakat lebih tenang dalam bersedekah.

Baca juga: Kepala BNPT: Fatayat NU berperan penting bendung terorisme

Pembebasan Ba'asyir
Tak cuma menangkap, pemerintah ternyata juga menempuh cara humanis, seperti membebaskan narapidana teroris, yakni Abu Bakar Ba'asyir setelah menjalani hukuman selama sembilan tahun. Tepat 8 Januari 2021, Ba'asyir dinyatakan bebas murni.

Ba'asyir seharusnya menjalani hukuman pidana penjara selama 15 tahun, namun mendapatkan berbagai macam potongan masa hukuman atau remisi.

Tidak sedikit yang khawatir dengan bebasnya Ba'asyir, tetapi banyak juga yang menaruh optimisme dengan akan melunaknya gerakan teroris dengan dibebaskannya sang mantan Amir (pimpinan) yang memang sudah sepuh.

Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun telah memastikan akan mengawal pascabebasnya Ba'asyir dengan program deradikalisasi.

Program deradikalisasi memang kerap dilakukan kepada mantan narapidana teroris ataupun kelompok yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

"Tentunya kami berkomunikasi dengan keluarga dan juga kepada Abu Bakar Baasyir, dan bersama-sama dengan stakeholder terkait, seperti lembaga pemasyarakatan, kemudian pihak Polri, dan Departemen Agama," kata Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigjen Pol Eddy Hartono.

Program deradikalisasi yang akan diberikan kepada Abu Bakar Baasyir, di antaranya wawasan kebangsaan, wawasan keagamaan, hingga wawasan kewirausahaan.

Survei BNPT menyebutkan fakta bahwa potensi radikalisme pada 2020 menurun, ditunjukkan dengan indeks potensi radikalisme pada 2020 mencapai 14,0 (pada skala 0-100) atau turun 12,2 persen dibanding pada 2019 yang mencapai 38,4 (pada skala 0-100),

Survei tersebut dilaksanakan bekerja sama dengan Alvara Strategi Indonesia, The Nusa Institute, Nasaruddin Umar Office, dan Litbang Kementerian Agama.

Akan tetapi, Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar mengingatkan bahwa menurunnya potensi radikalisme jangan sampai membuat seluruh elemen yang terlibat dalam kerja-kerja kontra radikalisme menjadi berpuas diri dan terlena, namun justru harus terus lebih keras lagi melakukan diseminasi untuk melawan propaganda kelompok radikal intoleran dan radikal terorisme.

Baca juga: BNPT: Terorisme halalkan segala cara himpun dana

Tentu, masyarakat berharap besar dengan kian menciutnya gerak kelompok radikalis dan teroris, apalagi di tengah situasi pandemi COVID-19 yang membuat banyak sektor kehidupan terdampak.

Namun, motif ekonomi, sebagai salah satu pemicu orang terpapar paham radikal mesti pula diwaspadai karena dampak pandemi COVID-19 turut membuat ekonomi masyarakat menjadi serba sulit.

Paham radikalisme dan terorisme memang tidak bisa dihilangkan, bahkan negara maju sekelas Amerika Serikat dan Selandia Baru pun pernah kecolongan dengan kasus terorisme yang menelan banyak korban.

Kelompok teroris juga memiliki banyak cara untuk menyebarkan pahamnya, termasuk melalui dunia maya dengan menyisipkan konten-konten radikal yang mampu membius orang untuk mengikutinya.

Namun demikian, radikalisme dan terorisme bisa dikikis sedikit demi sedikit dengan penguatan pendidikan sejak dini, setidaknya mulai dari lingkup keluarga yang mengajarkan toleransi dan penghormatan atas kemajemukan.

Para pemuka agama juga berperan menyampaikan dakwah yang menyejukkan dan memberikan pemahaman agama secara utuh agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan ajakan provokasi dari kelompok-kelompok radikalis dan teroris.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021