Pemerintah telah memulai pelaksanaan vaksinasi pada Rabu (13/1), dengan Presiden Joko Widodo sebagai orang pertama yang mendapatkan vaksin tahap pertama yang berasal perusahaan asal Tiongkok, Sinovac, itu.
Pelaksanaan vaksinasi tersebut melibatkan para pejabat dan tokoh publik yang memiliki pengaruh, seperti Rafii Ahmad hingga Ariel Noah. Meski para pesohor itu telah memberi contoh dan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja, tak serta merta masyarakat mau terlibat dalam program vaksinasi tersebut.
“Takut divaksin, takut ada chip-nya,” jawab Agus, seorang warga Jakarta, saat ditanyai mengenai kesiapannya mengikuti pelaksanaan vaksinasi.
Agus meyakini vaksin tersebut memiliki chip yang dapat mengendalikan orang-orang yang mendapat suntikan vaksin. Tak hanya itu, ia juga mengaku ngeri melihat video yang viral, dimana ratusan santri di Jember, Jawa Timur, yang terkapar usai mendapatkan suntikan vaksin. Padahal video tersebut merupakan peristiwa ratusan santri yang mengalami gangguan kesehatan usai divaksin difteri pada 2018, sebelum ada kasus COVID-19.
Sementara, isu chip pada vaksin telah dibantah tegas pemerintah. Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan bahwa tidak ada chip dan memastikan vaksin tersebut aman.
Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia Prof Zubairi Djoerban mengatakan persepsi sebagian masyarakat terkait vaksin perlu diubah. Dalam hal itu, perlu adanya edukasi pada masyarakat yang berasal dari orang-orang yang terpercaya, seperti tokoh publik, ulama, maupun orang yang disegani di lingkungan masyarakat itu.
“Masyarakat perlu diedukasi mengenai pentingnya vaksin. Vaksin penting agar seseorang bisa kebal terhadap penyakit. Kebal, tapi bukan mengobati COVID-19,” ujar Zubairi, dalam diskusi di Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, dia mendorong agar masyarakat mau mengikuti pelaksanaan vaksinasi karena program itu berperan penting dalam menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity.
WHO merilis suatu populasi dapat terlindung dari virus tertentu jika suatu ambang cakupan imunisasi tertentu tercapai. Kekebalan kelompok tersebut dapat tercapai dengan melindungi seseorang dari virus, bukan dengan cara memaparkan orang terhadap virus tersebut.
Vaksin melatih sistem imun untuk menciptakan protein yang dapat melawan penyakit, yang disebut “antibodi”. Seseorang yang telah diimunisasi terlindung dari penyakit yang bersangkutan dan tidak dapat menyebarkannya ke orang lain, sehingga bisa memutus rantai penularan.
Pada konsep kekebalan kelompok, sebagian besar penduduk diimunisasi, sehingga menurunkan jumlah keseluruhan virus yang dapat menyebar ke seluruh populasi.
Dalam mencapai kekebalan kelompok, tidak semua anggota masyarakat perlu mendapatkan vaksin. Pemerintah menetapkan vaksinasi tersebut dapat menjangkau setidaknya 75 persen penduduk Indonesia. Dengan kekebalan kelompok, juga memastikan kelompok masyarakat yang rentan maupun yang memiliki penyakit penyerta yang tidak mendapatkan vaksin dapat terlindungi dari ancaman virus.
Pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) dr Tonang Dwi Ardyanto SpPK PhD, mengatakan penelitian menunjukkan bahwa minimal 70 persen dari populasi perlu mendapatkan suntikan vaksin, agar terbentuk kekebalan bersama.
“Perlu diingat bahwa tidak semua orang mampu membentuk antibodi setelah vaksinasi. Laporan bervariasi, antara dua hingga 8,5 persen. Jika efektivitas vaksin 80 persen, artinya tidak cukup hanya 70 persen yang divaksinasi. Perlu setidaknya 95 persen dari populasi yang tervaksinasi,” katanya.
Dengan kata lain, kekebalan kelompok tersebut dapat tercapai jika efektivitas vaksin 100 persen dan masa proteksi melebihi masa pemberian vaksin sampai tercapai target cakupan minimal.
Oleh karena itu, pemberian vaksin tersebut harus benar-benar memastikan protokol kesehatan diterapkan pada hulunya, sampai pandemi dapat terkendali.
“Vaksinasi harus dilakukan pada sebanyak mungkin orang dalam waktu secepat-cepatnya. Untuk itu perlu mendukung program pemerintah. Selain itu, pemerintah perlu memberikan panduan dan visi yang jelas, agar masyarakat semangat menjalaninya. Tentu saja juga pemerintah harus membantu masyarakat agar berkurang bebannya,” kata Tonang.
Bukan berarti abai
Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia (PMI) Sudirman Said mengingatkan masyarakat untuk tidak abai dengan protokol kesehatan, meskipun saat ini sudah ada program vaksinasi COVID-19.
“Setelah adanya vaksin COVID-19 dan juga plasma konvalesen, harusnya dibarengi dengan pengetatan protokol kesehatan. Kami menyambut baik adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.
Masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun saat ini sudah ada vaksin. Hal itu dilakukan hingga pandemi COVID-19 di Tanah Air dapat terkendali.
Baca juga: Wapres: Tak ada alasan untuk tolak vaksin COVID-19
Baik protokol kesehatan, plasma konvalesen maupun vaksin merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, plasma konvalesen berperan dalam tahap pengobatan pasien COVID-19.
PMI saat ini berupaya menggalakkan program donor plasma konvalesen penyintas COVID-19. Plasma dari penyintas yang sudah memiliki antibodi tersebut digunakan untuk terapi penyembuhan pasien COVID-19.
Saat ini, PMI memiliki 64 alat yang dapat digunakan untuk pengambilan plasma konvalesen. Alat itu tersebar di 31 unit donor darah. Sebanyak 18 dari 64 alat itu telah mengantongi sertifikat cara pembuatan obat yang baik.Ke depan, PMI akan membuka outlet pendonoran plasma.
Baca juga: Epidemiolog sayangkan Anggota DPR tolak vaksinasi COVID-19
Hingga saat ini, PMI sudah menerima sebanyak 7.000 plasma konvalesen sejak Mei 2020. Namun jumlah tersebut, masih kurang dibandingkan permintaan akan kebutuhan plasma konvalesen yang setiap hari mencapai 200 plasma.
Ketua Umum IDI Daeng Mohammad Faqih mengatakan sampai saat ini belum ditemukan obat untuk COVID-19. Oleh karenanya upaya pencegahan, yakni protokol kesehatan harus dilakukan secara ketat, karena jika pencegahan gagal, maka pengobatan pun bisa dikatakan gagal.
Daeng juga memperkirakan kasus COVID-19 di Tanah Air bisa mencapai 1.000.000 pasien, mengingat kasus COVID-19 setiap harinya mencapai angka 10.000 orang.
Baca juga: PBNU tolak tegas kampanye anti-vaksin COVID-19
Pertambahan kasus tersebut merupakan dampak dari kegiatan selama Desember, seperti pilkada hingga liburan akhir tahun. Diperkirakan dampak kegiatan tersebut masih dirasakan hingga akhir Januari.
Warga diingatkan agar tidak euforia dengan adanya vaksin dan abai terhadap protokol kesehatan. Meskipun ada vaksin, protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga harus tetap diterapkan.
Pewarta: Indriani
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021