• Beranda
  • Berita
  • Perlukah rejuvenasi Rencana Induk Pelabuhan di Indonesia?

Perlukah rejuvenasi Rencana Induk Pelabuhan di Indonesia?

21 Januari 2021 09:42 WIB
Perlukah rejuvenasi Rencana Induk Pelabuhan di Indonesia?
Wegit Triantoro, Dosen Teknik Kepelabuhanan, Institut Transportasi dan Logistik Universitas Trisakti

setidaknya ada 5 faktor utama yang berpengaruh pada peningkatan daya saing pelabuhan yaitu volume kargo, fasilitas pelabuhan, lokasi pelabuhan, tingkat pelayanan dan biaya pelabuhan

Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China adalah sebuah pepatah lama yang mengisyaratkan kepada kita untuk berani mencari ilmu di manapun ia berada. Dalam konteks kepelabuhanan pepatah tersebut dapat diartikan secara harfiah bahwa dalam 20 tahun terakhir China mampu mereformasi dan memajukan industri kepelabuhanan.

Data World Bank dan UNCTAD menunjukkan bahwa container port throughput Negeri Tirai Bambu mengalami kenaikan tajam sejak tahun 2000 yaitu dari 41 juta TEU hingga mencapai 242 juta TEU di tahun 2019 atau setara dengan pertumbuhan sebesar 9,8 persen per tahun. Angka ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan pencapaian Indonesia yang hanya bertumbuh sebesar 7,4 persen per tahun yaitu dari 3.8 juta TEU hingga 14.7 juta TEU pada periode yang sama.

Padahal industri pelabuhan di China di awal tahun 2000an juga tidak terlepas dari masalah yang saat ini dialami oleh Indonesia. Meski 90 persen volume perdagangan internasionalnya diangkut melalui transportasi laut, kala itu China menghadapi birokrasi yang tumpang-tindih, administrasi yang rumit, fasilitas yang tidak memadai, serta orientasi komersial dan operasional yang tidak efisien. Namun, selama 20 tahun terakhir industri pelabuhan China mampu bangkit dan menjadi penopang sektor manufaktur yang merupakan motor penggerak ekonomi China.

Song dan Yeo (2002) melakukan sebuah penelitian untuk mengidentifikasi daya saing pelabuhan di China menggunakan analytical hierarchy process dengan melibatkan 70 peserta dari beragam latar belakang kepelabuhanan.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 faktor utama yang berpengaruh pada peningkatan daya saing pelabuhan yaitu volume kargo, fasilitas pelabuhan, lokasi pelabuhan, tingkat pelayanan dan biaya pelabuhan.

Baca juga: Peneliti: Indonesia perlu tingkatkan ekspor ke negara nontradisional

Hasil penelitian ini juga menunjukkan temuan menarik lainnya bahwa lokasi pelabuhan dipersepsikan masih memegang peranan yang paling penting dalam evaluasi daya saing. Lokasi pelabuhan yang strategis sangat erat kaitannya dengan volume kargo yang datang. Sebagai contoh pelabuhan yang terletak dekat dengan jalur perdagangan internasional berpotensi lebih besar dikunjungi kapal dengan muatan yang banyak.

Terlepas dari posisinya yang sangat penting, baik lokasi pelabuhan dan volume kargo merupakan uncontrollable factors, sehingga dapat dipahami bahwa pencapaian luar biasa industri kepelabuhanan di China dihasilkan oleh program kerja pemerintah China saat itu yang fokus pada peningkatan layanan dan fasilitas pelabuhan serta penekanan biaya pelabuhan.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat mengambil pelajaran yang berharga bahwa pemerintah Indonesia perlu merancang suatu national master plan pelabuhan yang berfokus pada faktor yang dapat dimanipulasi tanpa mengabaikan uncontrollable factors seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Rejuvenasi RIPN

Sebenarnya Indonesia telah memiliki Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) yang disusun dan dirilis oleh Kementerian Perhubungan. Hanya saja RIPN yang ada saat ini dirasakan masih sebatas “rangkuman” dari profil pelabuhan yang ada di Indonesia. Setidaknya belum ada pembahasan yang komprehensif mengenai rencana pengembangan pelabuhan yang selaras dengan pengembangan hinterland area dan keterkaitan antar pelabuhan yang bukan hanya klasifikasi dan stratifikasi semata tetapi juga mempertimbangkan konektivitas antar pelabuhan melalui konsep hub-and-spoke.

Penulis juga merasa RIPN saat ini belum memiliki parameter mekanisme evaluasi jelas. Meskipun evaluasi dan perencanaan yang lebih detil biasanya dibahas di masing-masing Rencana Induk Pelabuhan (RIP). Namun, parameter pengembangan pelabuhan yang jelas dan terukur tetap dibutuhkan di level nasional agar rencana pengembangannya lebih terjaga. Lebih lanjut proses evaluasi RIPN juga belum memiliki rentang waktu yang tetap dan pasti. Semuanya masih bergantung pada keperluan, sehingga proses evaluasi dan perencanaan belum dapat berlangsung lebih efektif dan efisien.

Baca juga: KCN: Prospek bisnis pelabuhan di Indonesia besar dan terus berkembang

Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan rejuvenasi atau peremajaan terhadap rencana induk pelabuhan Indonesia di level nasional. Tujuan utama dari rejuvenasi tersebut adalah tercapainya perencanaan pengembangan pelabuhan yang lebih komprehensif dan berkesinambungan (sustainable).

Tentunya pemerintah tidak dapat melakukan hal itu sendiri, perlu melibatkan banyak pihak seperti pelaku usaha (shipowner, cargo owner, shipping line, operator pelabuhan), akademisi dan peneliti di sektor pelabuhan agar studi tersebut tidak hanya menghasilkan paparan yang bagus di atas kertas tetapi mampu menjadi guideline bagi peningkatan daya saing pelabuhan di Indonesia.

Partisipasi swasta

Jika mengacu pada RIPN terakhir yang dikeluarkan pada tahun 2017, setidaknya terdapat sekitar 636 pelabuhan eksisting dan 1321 rencana lokasi pelabuhan. Dengan jumlah yang begitu banyak, APBN Indonesia tentu tidak akan mampu menanganinya sehingga peran serta pihak swasta juga sangat dibutuhkan.

Pelabuhan Patimban bisa menjadi preseden yang baik dalam upaya pemerintah untuk lebih aktif dalam melibatkan swasta di sektor pelabuhan. Namun, untuk bisa lebih menjangkau lebih banyak lagi pelabuhan yang dapat dikerjasamakan, tentunya pemerintah juga perlu lebih kreatif dan inovatif untuk memberikan insentif ke pihak swasta. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menawarkan kerja sama dengan skema bundling/clustering di mana beberapa pelabuhan ukuran kecil-menengah dapat dikerjasamakan dengan pelabuhan besar dalam satu paket.

Skema bundling/clustering ini sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam dunia investasi di sektor infrastruktur. Hal serupa pernah dilakukan di sektor bandar udara contohnya pada tahun 2017 pemerintah Brazil melakukan lelang 49 persen kepemilikan saham 13 bandara nasionalnya ke pihak swasta melalui skema bundling/clustering. Lalu pada tahun 2021, pemerintah Brasil juga berencana kembali membuka kerja sama dengan skema yang sama untuk 22 bandara nasionalnya dengan nilai investasi mencapai 1,26 triliun dolar AS.

Baca juga: Batam persiapkan sejumlah pelabuhan internasional

Karena itu bukan hal yang mustahil skema yang sama diterapkan di sektor kepelabuhanan di Indonesia. Di mana pelabuhan besar ini berperan sebagai sweetener yang mampu meningkatkan daya tarik ke investor, sehingga mampu mensubsidi “kerugian” yang di dapat dari pengembangan pelabuhan lainnya yang lebih kecil ukurannya.

Komponen skema pendanaan seperti ini nantinya juga dapat dipertimbangankan untuk dimasukkan ke dalam master plan pelabuhan yang baru. Sehingga master plan tersebut dapat menjadi acuan bagi para investor baik asing maupun dalam negeri dalam pengembangan pelabuhan di Indonesia.

*) Wegit Triantoro adalah Dosen Teknik Kepelabuhanan, Institut Transportasi dan Logistik Universitas Trisakti

Pewarta: Wegit Triantoro *)
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021