Kalimat di atas adalah pernyataan Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno pada 1 Juni 1945 dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ada adagium menarik dalam pidato yang kemudian dikenal sebagai awal mula lahirnya Pancasila itu yakni 'holopis kuntul baris'.
Baca juga: Izin kepolisian harus jadi prioritas setelah Liga 1 dihentikan
Pepatah tersebut berasal dari falsafah kuno Jawa. Maksudnya kira-kira, seperti burung bangau (kuntul) yang terbang beriringan, berbaris menuju tujuan bersama.
Bung Karno, sapaan akrab Sukarno, menganggap ini sebagai sifat gotong royong, karakter yang melekat kuat dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia. "Semua buat semua," kata sang Proklamator.
Nilai gotong royong, holopis kuntul baris, juga sangat kental dalam dunia sepak bola. Sebagai permainan tim, setiap pemain harus bekerja sama di atas lapangan demi satu tujuan yaitu gol.
Ditarik ke skala sepak bola yang lebih luas, nilai-nilai kebersamaan ini merupakan "bahan utama" untuk mencapai prestasi. Sesuatu yang selalu dinanti oleh masyarakat Indonesia.
Tidak bisa hanya berharap pada PSSI agar timnas juara di setiap kompetisi. Tak dapat pula cuma menaruh harapan pada pemerintah. Gotong royong adalah kuncinya.
Di Indonesia, ada beberapa 'pabrik' pesepak bola berbakat baik milik swasta maupun negara. Ada sekolah sepak bola (SSB), sementara pemerintah menyediakan wadah seperti Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP), Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Mahasiswa (PPLM) dan Sekolah Khusus Olahraga (SKO).
Baca juga: PSSI resmi hentikan Liga 1 dan 2 musim 2020 tanpa juara
Selain itu, ada pula akademi-akademi milik klub-klub profesional Tanah Air. PSSI sendiri mewajibkan setiap tim Liga 1 mempunyai akademi sejak tahun 2017 karena menjadi bagian syarat klub untuk mendapatkan lisensi profesional dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Idealnya, unsur-unsur itu terkoordinasi dengan baik sehingga para pemain terbaik mendapatkan kesempatan untuk terus mengembangkan diri sampai akhirnya bisa mencicipi tempat di tim nasional baik itu kelompok umur maupun senior.
Namun, kenyataannya tidak semanis bayangan. PSSI mengakui kekurangan itu. Mereka menyadari bahwa sekolah, akademi sepak bola di Tanah Air belum memiliki standar yang seragam dan sulit bersaing di tingkat internasional.
Belum lagi kompetisi untuk pesepak bola muda khususnya di bawah naungan PSSI sangat kurang. Dari tahun ke tahun, Indonesia masih berharap pada Piala Soeratin yang digelar PSSI. Beberapa musim belakangan muncul memang Liga 1 Elite Pro Academy, tetapi kompetisi ini terasa jauh bagi pemain-pemain usia dini di akar rumput.
Sabar, itu baru soal pengembangan pemain. Kita belum menyinggung hal-hal penting lain seperti tentang infrastruktur, soal pelatih, wasit dan sains olahraga.
Pemerintah sebagai regulator tidak tinggal diam melihat situasi tersebut. Pada Februari 2019, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Inpres yang berisi perintah kepada lembaga dan kementerian lintas sektor untuk memajukan sepak bola itu terasa seperti angin segar. Akan tetapi, secara nyata, Inpres tersebut belumlah berjalan.
Solusi agar rencana-rencana besar bisa terwujud, ya, menerapkan holopis kuntul baris. Setiap pihak mesti bekerja sama, mengesampingkan ego dan rela bersusah payah demi sepak bola.
Sepak bola nasional tidak boleh diseret-seret ke ranah kepentingan pribadi, kelompok apalagi memperalatnya untuk mempertebal pundi-pundi.
Di negara lain, kita bisa ambil contoh bagaimana Jerman membangun sepak bolanya setelah 'hancur lebur' di daratan Eropa pada awal tahun 2000.
Baca juga: PSSI minta LIB segera siapkan liga musim 2021
Jerman
Dalam tulisan "How the Germans Are Using the Football Talent Management Program" (2020), akademisi dari Universitas Al-zahra, Iran, Mehri Pouyandekia dan Zhaleh Memari mencatat bahwa kerja sama erat antara pemerintah Jerman, khususnya Kementerian Pendidikan dan Riset (BMBF), dengan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) dan operator Liga Jerman (DFL) memegang peranan penting dalam peningkatan prestasi lapangan hijau 'Negeri Panser'.
Salah satu bentuk nyata kekompakan tersebut, Mehri dan Zhaleh mencatat, pada tahun 2006 atau dua tahun setelah Jerman tersingkir secara memalukan dari Piala Eropa 2004, Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman, DFB dan DFL sepakat bekerja sama untuk mendirikan sekolah elite sepak bola yang diawasi oleh DFB.
Keputusan itu diambil karena mereka menyadari pentingnya membangun atmosfer sepak bola dari usia dasar.
Sekolah sepak bola itu terhubung dengan lembaga pendidikan dasar dan klub-klub lokal. Para pemain yang dianggap bagus akan terus naik tingkat sampai akhirnya masuk organisasi DFB tingkat regional atau seperti asosiasi provinsi milik PSSI di Indonesia.
Selama di sekolah sepak bola, pemain diikutsertakan ke liga muda Jerman yang jenjangnya berada dari U-7 sampai U-19. Dengan kemitraan sedemikian rupa, para pemain terbaik mulai dari kategori U-15 ke atas berhak mendapatkan pelatihan di akademi klub profesional dan masuk ke tim nasional kelompok umur.
Pesepak bola belia itu pun tidak terlalu risau dengan masa depannya karena DFB dan DFL mengikat nota kesepahaman dengan Asosiasi Agen Pemain Sepak Bola Jerman (DFVV). Artinya, selama pemain menunjukkan kemampuan maksimal, sangat terbuka kemungkinan mereka dilirik oleh agen-agen pemain yang membuka jalan menjadi pesepak bola profesional.
Jerman selalu memegang prinsip keberlanjutan dalam membangun sepak bolanya karena, bagi mereka, sepak bola adalah masa depan.
Di akar rumput, DFB mempunyai 1,5 juta sukarelawan yang rela menangani sepak bola di tingkat bawah sampai saat ini. Pada tahun 2020, terdata ada 24.500 klub sepak bola amatir yang tersebar di seluruh Jerman.
Apa yang dilakukan Jerman sangat berhasil. Dengan gotong royong versi sendiri, mereka sukses menjadi negara yang tim nasional sepak bolanya sangat disegani.
Baca juga: PSSI berharap kompetisi junior berjalan bersama liga 2021
Setelah ambruk di Piala Eropa 2004, di mana mereka tidak lolos grup, tidak pernah menang termasuk ditahan 0-0 oleh tim lemah Latvia, Jerman bangkit kembali dan sukses menjadi peringkat ketiga Piala Dunia 2006 dan 2010. Puncaknya, di Piala Dunia 2014, Jerman sukses mengangkat trofi kampiun.
Jerman juga seakan tidak berhenti menghasilkan bakat-bakat sepak bola yang unggul dan berkualitas dunia.
Ketika era Bastian Schweinsteiger, Michael Ballack, Philipp Lahm berakhir, muncul masa Mesut Oezil, Marko Marin, Thomas Mueller.
Belum lagi Oezil dan rekan seangkatannya masuk waktu pensiun, Jerman sudah memunculkan bakat-bakat muda lain seperti Timo Werner, Joshua Kimmich, Julian Brandt dan Kai Havertz.
Tak cuma tentang pemain, Jerman juga berinvestasi besar ke peningkatkan kualitas pelatih dan wasit.
Dikutip dari The Guardian, pada tahun 2013, Jerman memiliki 28.400 pelatih berlisensi B UEFA, 5.500 pelatih berlisensi A UEFA dan 1.070 pelatih berlisensi Pro UEFA. Jumlah ini bahkan lebih tinggi daripada Inggris yang ditahun yang sama hanya memiliki 1.759 pelatih B UEFA, 895 pelatih A UEFA dan 115 pelatih berlisensi Pro UEFA.
Lalu wasit, pada tahun 2021, Jerman memiliki 14 wasit tengah dan 16 hakim garis berlisensi FIFA. Sebagai perbandingan, cuma ada lima wasit tengah dan tujuh hakim garis FIFA dari Indonesia. Padahal, jumlah penduduk Indonesia tiga kali dari total penduduk Jerman.
Holopis kuntul baris memperlihatkan keampuhannya dalam menerbangkan sepak bola Jerman.
Indonesia memiliki potensi untuk melakukan hal yang sama. Modal besar yang kita punya apalagi kalau bukan semangat gotong royong yang sudah berakar dalam sanubari sejak dahulu kala.
Intinya, di sepak bola, sebenarnya Indonesia bisa seperti atau bahkan melebihi Jerman. Masalahnya sekarang, kita mau berusaha ke arah sana atau tidak?
Baca juga: PSIM susun langkah setelah PSSI hentikan Liga 1 dan 2 musim 2020
Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2021