"Hidup matinya sebuah bangsa terletak pada ketersediaan pangannya”… Itu adalah amanah penting pada sebagian sambutan Bung Karno pada tahun 1952 saat peletakan batu pertama pembangunan Kampus IPB. Kalimat itu bersukma hingga sekarang.
Artinya Bapak Proklamator kita memberi amanah agar kita serius mampu mengelola pangan kita, agar tetap tersedia dan harga terjangkau demi kelangsungan hidupnya Indonesia kita ini.
Pandemi COVID-19 telah mendidik kita agar mengambil ilmu hikmah betapa sangat pentingnya swasembada pangan. Terbukti karena banyak tergantung impor sangat rentan terhadap harga pangan kita.
Pangan impor, berarti karya petani luar negeri. Yang belum tentu boleh kita beli semahal apa pun harganya dan seberapa pun jumlahnya umpama kita sanggup membayarnya. Tergantung negara pemiliknya.
Pasti skala prioritas untuk kebutuhan dalam negerinya dulu. Jika kebutuhan pangan di dalam negerinya sudah pasti aman baru boleh diekspor. Di Indonesia terbalik pola pikirnya, suka instan, cara impor demi dapat pangan murah.
Seolah hal mudah bergantung dari impor karena itu yang termurah demi menekan inflasi akibat pangan mahal. Pangan impor murah memang dampaknya menekan biaya hidup masyarakat. Agar upah tidak konsisten naik 8 per tahun (BPS).
Bung Karno membangun Kampus IPB harapannya agar para anak muda dididik dan dibentuk jadi pemikir pangan bangsa ini, pelaku usaha di bidang pangan yang sehat kompetitif dan lainnya. Ada sebuah kepastian ketersediaan pangan harga terjangkau selamanya.
Tapi faktanya saat ini pangan di Indonesia termahal di Asean, itu menurut Bank Dunia. Sehingga wajar jika banyak investor berbondong - bondong kabur pindah ke Vietnam. Salah satu sebab utamanya upah murah akibat pangan murah.
Kalau dirunut ke hulunya, adanya pangan mahal di Indonesia akibat Harga Pokok Produksi (HPP) tinggi. Sebab utamanya karena SDM pertanian kita kurang inovatif dan iklim usaha pertanian belum sebaik di negara pesaing.
Pelaku usaha pertanian belum inovatif karena proses edukasi masyarakat pertanian tidak jalan. Para sarjana pertanian dominan tidak mau bertani sehingga gagal transfer iptek inovasi dari ahli pertanian ke masyarakat pertanian. Bukti gagalnya kampus mendidik insan pertanian.
Iklim usaha pertanian kita masih belum baik. Indikatornya indeks inovasi global hanya peringkat 85 dari 131 negara dan indeks logistik urutan ke 5 di ASEAN menurut Bank Dunia. Menandakan inovasi kita belum membumi, infrastruktur belum mengurangi HPP.
Dua hal utama dan pertama di atas jadi sebab HPP pangan kita tinggi. Lalu kalah bersaing saat ada impor. Jadi sebab dismotivasinya masyarakat untuk setia bertani. Dampaknya petani alih profesi 500.000 KK/tahun (BPS). Hasil Sensus Pertanian terakhir.
Stabilitas harga pangan hal mutlak, karena bagian dari stabilitas nasional. Harga pangan naik berdampak langsung pada naiknya biaya hidup, inflasi, upah tenaga kerja, jumlah kemiskinan dan prosentase stunting.
Imbasnya bisa pada lambannya pembangunan sumber daya manusia. Ini bagian dari ancaman serius bagi sebuah bangsa. Karena pada hakekat membangun sebuah bangsa adalah membangun segenap jiwa raganya, amanah syair lagu kebangsaan kita Indonesia Raya.
Baca juga: Presiden Jokowi instruksikan Kementan cari solusi atasi pangan impor
Baca juga: Ketua DPPPI tegaskan pentingnya sinergi ketahanan iklim dan pangan
Solusi alternatif
Jalan keluar yang bisa diambil di antaranya dengan:
1. Harus serius membangun SDM pertanian inovatif. Manusia yang punya karakter dan kapasitas mumpuni dalam berusaha di bidang pangan agar jadi simpul masyarakat pedesaan agen perubahan dengan keteladanan nyata.
Bukan sekadar hafal sastra ilmu pertanian lalu lulus dan akhirnya bukan sebagai mengabdi pada sektor pertanian. Padahal investasi negara untuk mendidiknya butuh dana APBN jumlah besar. Jika tidak, maka tetap jadi sumber pemborosan ekstrim tersistematis berkelanjutan.
2. Perbaikan iklim usaha pertanian. Agar menarik investor massal yaitu masyarakat Indonesia, agar juga bisa menekan HPP lalu mampu bersaing dalam laba yang sehat. Menjadikan betah setia bertani. Iklim usaha adalah kewajiban negara, di antaranya.
Inovasinya harus membumi hingga sampai yang berhak pembayar pajak yaitu masyarakat. Bukan hanya sekedar sudah terbit di jurnal ilmiah atau disimpan di lemari lara peneliti karena lupa akibat sudah naik pangkat jabatannya atau mungkin di pusat penelitian maupun perguruan tinggi.
Infrastruktur sarana produksi misal jalan maupun irigasi, ini hal penting sekali. Karena selama ini ongkos kirim pupuk dan mengambil hasil produksi jauh lebih mahal biayanya dibandingkan di luar negeri, sehingga tidak mampu bersaing di era globalisasi. Bahkan di dalam negeri saja bersaing dengan pangan impor.
Rendahnya bunga bank dan mudahnya mengakses modal kerja. Petani di luar negeri dapat kemudahan modal usaha dengan bunga sangat murah hanya 2 persen tahun. Dampaknya petani jadi makanan empuk bagi pedagang sarana pertanian yang harganya mahal karena mereka juga memakai utang bank bunga tinggi kolektif 12 persen per tahun.
Tata niaga yang harus lebih berpihak ke petani. Sarana pertanian apalagi hasil pertanian. Selama ini kita terlalu bebas hal impor sarana pertanian dan hasil pertanian. Bahkan saat panen pun barang impor banjir dengan harga murah. Inilah pembunuh karakter profesi petani. Jadi sebab bangkrut lalu kapok bertani.
Arti dari uraian di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian pangan tiada akan mungkin bisa sukses jika hanya dikelola oleh satu kementerian, tanpa didukung sinergis oleh banyak pihak, banyak kementerian maupun lembaga negara. Utamanya partisipasi dari masyarakat Indonesia sebagai pelaku utamanya.
Kebijakan teknis pertanian. Ini hal sangat penting, artinya mesti dikaji ulang terhadap dtrategi selama ini. Karena politik telah berpihak, ditandai dengan naiknya anggaran APBN ke Kementan dan Kemendes. Tapi hasilnya masih sama saja. Masih seperti yang berlalu. Jika tiada upaya beda maka hasilnya takkan beda pula. Masih bayak impor lagi. Sia - sia APBN tinggi Rp 125 triliun per tahun mengalir, jika hasilnya sama saja.
Perlunya validasi data dan kalkulasi logis supaya mencapai target sasarannya. Bukan monoton atau itu-itu saja. Misal jika harus swasembada gula, kedelai dan bawang putih yang selama ini dominan impor. Maka harus pengembangan luas tanam. Estimasinya harus ada lahan baru 3 juta hektare lagi. Itu baru logis agar tidak berebut petani dan komoditas pada lahan yang sama.
*) Wayan Supadno adalah Praktisi dan Pengamat Pertanian
Pewarta: Wayan Supadno *)
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021