Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai komitmen investasi dari perusahaan-perusahaan asing yang sudah didapatkan oleh pemerintah Indonesia perlu segera didorong untuk terealisasi guna membantu memacu pemulihan ekonomi domestik.Investasi ini sifatnya "principal", sehingga yang menawarkan efisiensi itu yang akan dipilih.
Menurut Enny, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi penghambat investor dalam merealisasikan investasinya, sebab ketika investor sudah menyatakan komitmen investasi, artinya mereka memang sudah berniat berinvestasi di Indonesia.
"Investasi ini sifatnya "principal", sehingga yang menawarkan efisiensi itu yang akan dipilih. Misalnya Vietnam yang menawarkan efisiensi investasi di bidang otomotif, sehingga pabrikan otomotif banyak membuat pabrik di sana," ujar Enny melalui keterangan di Jakarta, Senin.
Baca juga: Menteri Erick: SWF percepat investasi masuk ke dalam negeri
Seharusnya, lanjut Enny, hal-hal seperti itu menjadi panduan bagi pemerintah dalam memberikan fasilitas investasi, tergantung pada sektornya.
Ia menilai insentif saja belum menjadi daya tarik. Untuk insentif penerima PPh Badan misalnya, beberapa negara dengan PPh Badan yang lebih tinggi dari Indonesia tetap menarik bagi investor. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan tingkat efektivitas dari sebuah kebijakan.
"Jadi perlu ada regulatory impact assessment (RIA)-nya. Ini kan banyak yang salah tembak," kata Enny.
Baca juga: SBN ritel incar gairah generasi muda untuk berinvestasi
Enny menuturkan pemetaan tersebut bertujuan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan investor dan apa yang menjadi daya tarik bagi mereka. Dengan demikian, pemerintah tidak membuang-buang insentif yang tidak tepat sasaran.
"Jadi intinya yang harus dilakukan pemerintah adalah fokus membuat yang namanya policy industry. Indonesia mau mengembangkan industri apa sebenarnya, yang masih kompetitif dan memiliki multiplier effect, nilai tambah dan sebagainya. Itulah yang mestinya ‘diguyur’ insentif habis-habisan," ujar Enny.
Salah satu contohnya adalah industri berbasis teknologi tinggi di mana investor sudah banyak yang menyatakan minat investasinya di sektor tersebut . Sebut saja produsen mobil listrik hingga produsen baterai dari Amerika Serikat, Korea hingga Jepang.
"Ketika investasi, jangan hanya memindahkan pabrik, tapi bahan baku perlahan harus dari dalam negeri, tidak impor. Juga harus ada transfer teknologi," kata Enny.
Baca juga: BI perkirakan modal asing melonjak tahun ini, capai 19,1 miliar dolar
Beberapa komitmen investasi jumbo di Indonesia sudah ditandatangani, seperti Contemporary Amperex Technology Co. Ltd yang telah menandatangani komitmen investasi 4,6 miliar dolar AS atau setara Rp67,8 tiliun untuk pengembangan baterai listrik di Indonesia. Lalu ada Abu Dhabi yang menyatakan komitmen investasi hingga 22,8 miliar dolar AS atau Rp319,8 triliun pada awal 2020 lalu.
Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan tahun ini BKPM memang akan mulai fokus pada investasi yang memiliki teknologi tinggi dan padat karya. Dengan fokus pada transformasi sektor yang memiliki teknologi tinggi tersebut, diharapkan dapat menaikkan nilai tambah melalui hilirisasi.
Bahlil mengakui realisasi investasi saat ini belum optimal karena memang tidak mudah merealisasikan komitmen investasi meskipun investor telah berkomitmen. Masih banyak kendala yang dihadapi di lapangan, mulai dari regulasi yang tumpang tindih hingga ego sektoral.
Meski begitu, BKPM berjanji bakal menyelesaikan seluruh kendala-kendala tersebut. Misalnya saja pada 2019, Bahlil mengatakan ada sekitar Rp700 triliun investasi mangkrak dan ada 2020 sudah diselesaikan sebanyak Rp479 triliun.
Di lain sisi, hampir di seluruh dunia terjadi penurunan investasi, terutama investasi langsung asing atau Foreign Direct Investment (FDI) yang turun sekitar 30-40 persen. Sedangkan di Indonesia penurunan FDI hanya 7 - 8 persen.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021